Pagi itu juga empat pelaku ditangkap polisi di empat tempat berbeda. Polisi menjerat mereka dengan Pasal 338 KUHP, pembunuhan. Ancaman maksimal hukuman 15 tahun penjara.
Dari kronologi itu, jelas kebencian pelaku meledak-ledak. Untuk motif yang sepele dibandingkan tindakan para pelaku. Polisi masih menyelidiki lebih dalam tentang motif. Benarkah motifnya begitu sepele atau ada latar belakang lain?
Mengapa manusia begitu kejam untuk alasan sepele?
Arsip kuno The New York Times, 8 Agustus 1954, berjudul Why Do They Commit Murder? As crimes of violence, karya Fredric Wertham, mengungkap penyebab pria membunuh.
Fredric Wertham (1895–1981) psikiater Amerika Serikat (AS) kelahiran Jerman. Ia terkenal karena kampanyenya pada pertengahan abad ke-20 melawan publikasi kekerasan di media massa, khususnya buku komik, yang menurutnya merupakan penyebab utama kenakalan remaja.
Saat artikel itu dipublikasi (tahun 1950-an) di AS sangat marak pembunuhan. Pada 1952 di New York saja terjadi 350 pembunuhan atau hampir satu kasus pembunuhan per hari. Bahkan, untuk alasan sepele pun, pria bisa membunuh orang lain.
Saat itu tajuk utama The New York Times berjudul Mengapa ia membunuh?.
Wertham: ”Dalam beberapa masyarakat paling primitif, pertanyaan ini tidak pernah diajukan. Jika seorang pria membunuh orang asing, itu tidak dianggap sebagai kejahatan. Jika ia membunuh seorang anggota suku, ia akan menerima hukuman terberat. Alasan ia melakukannya tidak ada bedanya. Bahkan, jika itu murni kecelakaan, hukumannya sama persis dengan jika ia melakukan dengan sengaja.”
Dilanjut: ”Saya menemukan bahwa di antara juri, misalnya, setelah ditentukan apakah terdakwa melakukannya, satu pertanyaan mengalahkan semua pertanyaan lainnya: mengapa terdakwa melakukan?”
Juri tidak perlu teori-teori yang rumit, baik hukum maupun psikiatris. Mereka ingin ahli menjelaskan secara sederhana, mengapa seseorang membunuh. Lalu, menetapkan ada atau tidaknya suatu penyakit jiwa dengan awal, perjalanan, dan kemungkinan hasil. Itulah arti waras dan gila bagi mereka.
Dalam studi psikologis pembunuh (saat itu), ada dua jebakan yang harus diwaspadai.
Pertama, menganggap pembunuhan sebagai misteri yang gelap. Kita banyak mendengar dan membaca tentang kekuatan-kekuatan elementer yang irasional. Tentang celah-celah misterius dalam pikiran manusia dan tentang dorongan agresif yang sangat tersembunyi yang dengan cara-cara yang tidak jelas membuat seseorang menjadi pembunuh.
Menurut spekulasi itu, pembunuhan bukanlah pembunuhan, melainkan selalu disertai sesuatu yang lain. Mistifikasi itu tidak hanya menutupi masalah sebenarnya, tetapi juga memberikan semacam pembenaran sehingga pelaku tidak memikul tanggung jawab. Bahkan, memberikan sentuhan glamor pada pembunuhan.
Kedua, asumsi bahwa setiap pembunuh pasti abnormal. Itu berarti bahwa pembunuhan dipisahkan dari semua koneksi sosial dan psikologisnya yang kompleks.
Itu bukanlah cara untuk melindungi masyarakat. Tidak membedakan antara mereka yang sakit jiwa dan yang tidak. Itu sama kasarnya dengan kesalahan orang-orang primitif dalam tidak membedakan antara kecelakaan dan niat.
Menganggap semua pembunuh sebagai orang sakit jiwa berarti memandang masyarakat terlalu positif dan tidak menyadari aspek-aspek mengerikan dari kenormalan.