Revolusi SEA Games

Revolusi SEA Games

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

SUDAH saatnya Indonesia mengubah strategi di ajang SEA Games.

Selama ini Indonesia selalu mengeluarkan seluruh daya upaya di turnamen olahraga dua tahunan Asia Tenggara itu. Apa pun dilakukan, yang penting harus jadi raja Asia Tenggara.

Tapi, kenyataannya, sudah cukup lama tidak terdengar Indonesia sebagai juara umum. Kali terakhir kita meraih juara umum saat menjadi tuan rumah 2011. Sebelumnya, pada 1997, juga juara umum. Tapi, juga saat menjadi tuan rumah.

Totalnya sudah sepuluh kali Indonesia menyandang gelar juara umum. Sedangkan kali terakhir, Indonesia meraih predikat tersebut di kandang negara lain, yakni 1993, pada gelaran di Singapura.

Untuk urusan juara umum, catatan Thailand lebih baik. Mereka sudah 13 kali. Bahkan, tiga gelar juara umum  terakhir negara Gajah Putih itu diperoleh di negara lain: Singapura (2015), Myanmar (2013), dan Laos (2009).

Di SEA Games yang kini sedang berlangsung di Vietnam, tuan rumah hampir dipastikan juara umum. Thailand menguat di posisi kedua. Indonesia maju mundur di posisi  ke-4 atau ke-5.

Dalam lima SEA Games terakhir, Indonesia masuk kelas medioker. Papan tengah. Terlempar dari tiga besar. SEA Games 2013 (peringkat ke-4), 2015 (5), 2016 (5), dan 2019 (4). Saat ini pun sulit tembus tiga besar.

Saat saya meliput SEA Games 1995, 1997, 1999, dan 2001, ajang itu seperti pertarungan dua gajah: Thailand vs Indonesia. Para atlet dan jurnalis Thailand menganggap Indonesia rival utama. Pesaing memburu medali.

Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, Thailand sudah tidak menganggap Indonesia sebagai pesaing utama lagi. Mereka kini bersaing dengan Vietnam dan Filipina. Apakah Indonesia yang makin mundur? Atau kita hanya jalan di tempat, sedangkan para rival melejit pesat?

Bila berpatokan dengan SEA Games ini, Indonesia jelas stagnan. Padahal, semua upaya mengejar prestasi dicurahkan di sini. Sementara di turnamen yang lebih tinggi di level Asia atau dunia, juga belum kunjung membaik.

Indonesia harus melakukan perubahan. Berubah yang revolusioner.  Menjadikan ajang SEA Games sebagai pintu perubahan.

Harus ada keberanian menjadikan SEA Games sebagai ajang pembinaan atlet. Tempat menempa atlet. Bukan lagi kejuaraan level Asia Tenggara itu menjadi tujuan puncak capaian prestasi. Toh, selama ini prestasi yang kita tunggu dari SEA Games tak kunjung hadir lagi.

Untuk skema revolusi SEA Games, atlet yang dikirim maksimal usia 23 tahun. Dengan demikian, itu menjadi ajang para atlet muda untuk menambah jam terbang. Menambah pengalaman internasional.

Target prestasi olahraga harus dinaikkan. Bukan lagi di SEA Games. Melainkan lebih atas lagi, di level Asia atau kejuaraan dunia. Dengan begitu, target utamanya ialah prestasi di Asian Games atau Olimpiade.

Dengan perubahan orientasi target itu, tentu atlet Indonesia tak perlu merasa kecil menghadapi atlet senior negara lain di SEA Games. Justru itu kesempatan menaikkan level. Apalagi bila di era junior ini bisa sukses, tentu menjadi modal berprestasi saat senior, di turnamen lebih besar.

Ajang SEA Games sangat cocok bagi  pembinaan atlet. Turnamen multievent tersebut setiap dua tahun sekali. (Asian Games atau Olimpiade tiap empat tahun). Dengan frekuensi cepat, tiap dua tahun, ritme pengiriman pemain level junior lebih cepat.

Yang lebih penting, mindset pembina olahraga juga harus berubah. Bila selama ini SEA Games jadi ajang pamer prestasi kerja mereka, itu harus dirombak juga. Olimpiade atau Asian Games sebagai patokan prestasi. Di sepak bola baru bisa dikatakan sukses bila juara level Asian Games atau kejuaraan Asia. Lebih-lebih lolos ke Piala Dunia.

Begitu juga bola voli, baru dikatakan sukses bila mampu tembus VNL (Volleyball Women Nations League) atau paling tidak sukses di kejuaraan Asia. Untuk bulu tangkis, ukuran suksesnya meraih Thomas/Uber Cup atau berjaya di kejuaraan dunia. Begitu juga cabang atlet, panahan, renang, target sukses minimal di level Asia.

Tentu pemerintah yang paling penting menciptakan target menaikkan level prestasi. Kebijakan paling sederhana, misalnya, presiden hanya menjamu atlet berprestasi spektakuler di level dunia. Tujuannya, mendorong semangat atlet bila ingin diberi penghormatan istimewa. Dan, yang penting, pemerintah mampu menciptakan kondisi perubahan target prestasi dan sarana penunjang.

Di cabang sepak bola, kriteria U-23 sudah diterapkan di turnamen multievent. Rumusnya, U-23 plus 3 senior. Aturan itu terkait regulasi FIFA. Dan tak hanya berlaku di SEA Games, tapi juga di level dunia seperti Olimpiade. Awalnya FIFA menerapkan aturan U-23 itu untuk menjaga gengsi  Piala Dunia agar tidak tersaingi Olimpiade. Juga, agar SEA Games dan Asian Games tidak menyaingi kejuaraan yang diselenggarakan konfederasi sepak bola.

Indonesia juga harus memberikan panggung internasional kepada junior. Buat seluruh cabang. Tapi, tujuannya untuk pembinaan.

Paling pas arena SEA Games. Selama ini didominasi pemain senior, juga tak membawa prestasi juara umum. Hanya medioker. Lebih baik diberi kesempatan ke junior. Paling tidak jadi modal jam terbang ke turnamen yang lebih tinggi. (*)

 

Sumber: