Sejarah dalam Puisi

Sejarah dalam Puisi

Dalam Brug dan Bok yang diterbitkan Embrio Publisher, Kyota Hamzah memuat ratusan puisi yang menyiratkan kisah sejarah.

Kisah sejarah itu termasuk di Sepanjang, Sidoarjo, hingga beberapa daerah di Jawa Timur. Keberadaan puisi sebagai sarana mengungkap sejarah itu tentu menarik. Dengan puisi-puisi bertema sejarah dalam buku Brug dan Bok, Hamzah ingin menjadi penghubung kisah masa lalu untuk orang-orang masa sekarang.

Kegemaran terhadap sejarah membuatnya kerap menyelipkan nilai-nilai kisah masa lalu dalam bangunan puisinya. Seperti dalam Kali Porong: Di sini kita hidup/Di sini mereka hidup/Sejak Airlangga hingga meenir Belanda/Tiada yang tahu bila sang sungai menyimpan kisah peradaban/Di kali Porong semua terpendam dalam dasar waktu/Tersimpan untuk dikenang/Atau dikubur untuk dilupakan/Karena sang sungai hanya ingin mengalir.

Dalam puisi tersebut, Hamzah mengungkapkan sisi sejarah Sungai Porong. Sejak zaman Hindu-Buddha hingga kolonial, aliran sungai tersebut posisinya cukup penting dalam perdagangan, terkait distribusi barang dan sebagainya.

Puisi-puisi lain dalam buku Brug dan Bok juga bertema sejarah. Sebagian puisi ditulisnya sejak 2017 hingga 2020, sebagian adalah puisi baru yang ditulis pada awal 2021. ”Waktu itu saya berpartisipasi dalam lomba puisi yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur,” ujar pria 29 tahun itu.

Karena keikutsertaannya tersebut, Hamzah merevisi beberapa diksi dari puisi-puisi lamanya. ”Kurang lebih dua minggu untuk masa pengendapan dan perbaikan puisi lama. Tapi yang paling memakan waktu adalah riset untuk menciptakan puisi baru,” ungkapnya.

Inspirasinya yang paling utama adalah kehidupan masa kecilnya di daerah Bebekan, Sepanjang, Sidoarjo. ”Di area tempat tinggal saya banyak menyimpan kisah sejarah. Termasuk dahsyatnya pertempuran Sepanjang untuk mempertahankan kemerdekaan,” ungkap pria yang aktif dalam Forum Lingkar Pena, Sidoarjo itu.

Ia mendapat banyak informasi sejarah dari berbagai literasi dan wawancara dengan para saksi sejarah. Hamzah menulis sejarah lewat puisi dengan tujuan untuk memberi bacaan alternatif untuk masyarakat. ”Jadi saya mencoba memperkenalkan sejarah dengan cara menyenangkan,” terangnya.

Tentang judul, Hamzah tergelitik dengan cara masyarakat Jawa, utamanya Sidoarjo ketika menyebut sebuah jembatan. ”Kerap kita dengar orang-orang menyebut jembatan sebagai bok. Ternyata, bok itu kata serapan Bahasa Belanda,” ungkapnya.

Bok adalah pelafalan dari kata brug. Nama-nama bok yang terkenal adalah Bok Buduran, Bok Sepanjang, kemudian di Surabaya ada Roodebrug atau Jembatan Merah. ”Tapi pemilihan judul itu saya pilih karena lebih bermakna kiasan soal penghubung,” tegasnya.

Bagi Hamzah, sejarah tak melulu persoalan hafalan, melainkan harus dipahami betul. Setiap orang merupakan pelaku dan penutur sejarah. ”Kisah masa lalu akan menguap begitu saja apabila tidak ditulis. Sekecil apa pun sebuah peristiwa, harus tetap ditulis,” ungkapnya.

Yang membuatnya senang, para pembaca turut memberikan apresiasi. ”Ada yang bilang bahwa sangat jarang sejarah ditulis dalam bentuk puisi. Membacanya tak lagi ribet seperti buku-buku sekolah. Dan lagi mudah dipahami,” ujarnya.

Namun Hamzah terbuka atas segala kritik dan saran. Beberapa senior menyarankan agar ia lebih mendalami lagi tentang sejarah. Termasuk melakukan riset yang lebih intens dalam waktu panjang.

”Semua saya terima dan tanamkan dalam hati. Agar saya lebih tahu tentang bagian mana yang perlu diperbaiki ke depannya,” tutur anggota komunitas Malam Puisi Sidoarjo itu. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: