Menjadi Indonesia itu Simpel

Menjadi Indonesia itu Simpel

Kelenteng Hong San Kiong, Gudo, Jombang, mengadakan perayaan Imlek bersama pada Sabtu (12/2). Tiga pembicara hadir. Mereka mengutarakan pesan-pesan bertema keberagaman. Demi Indonesia.

’’TERLEBIH dulu, saya ingin berterima kasih kepada Bu Siti Muainah. Betul ya? Matur nuwun ya, Bu,’’ seru Harjanto Halim, salah seorang pembicara pada perayaan Imlek tersebut. Suaranya lantang. Ia berdiri di bibir panggung. Matanya menyapu seluruh ruangan aula kelenteng itu.

Siti Muainah adalah perempuan yang menyiapkan sejumlah hidangan pada malam itu: lontong cap go meh. ’’Makanan akulturasi’’ Tionghoa dan Jawa. Komplet dengan ayam suwir bumbu opor, kuah lodeh, sambal koya, hingga rebung. Sedap sekali.

’’Saya memang mencari, bahwa di balik acara-acara besar seperti ini, pasti ada orang-orang seperti Bu Siti yang ikut bikin sukses,’’ kata CEO PT Marimas Putera Kencana, Semarang, tersebut. Tepuk tangan pun membahana.

Oleh Ardian Purwoseputro, budayawan-penulis-pemerhati wayang potehi, yang bertindak sebagai moderator, Harjanto diminta berbicara tentang problem-problem keberagaman di Indonesia. ’’Meng-Indonesia itu simpel. Keseharian saja yang kita kuatkan,’’ ucap Harjanto.

Menurut Harjanto, problem semua suku itu sama. Baik pribumi atau Tionghoa. ’’Kita semua ini rasis dalam kadar yang berbeda,’’ ucap lelaki kelahiran 1965 tersebut. ’’Di dalam bilik-bilik tertutup, pendidikan diskriminasi itu terjadi di rumah kita, di tempat-tempat ibadah,’’ katanya.

Dari kiri, Novi Basuki, Dahlan Iskan, Ardian Purwoseputro, dan Harjanto Halim dalam dialog perayaan Imlek di Kelenteng Hong San Kiong.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Disadari atau tidak, misalnya, masih banyak orang tua yang menolak anaknya menjalin hubungan asmara dengan orang dari suku lain. ’’Pasti dibilang, ’Mbok dipikir disik (coba dipikir dahulu, Red).’ Hayo, benar atau tidak?” kata Harjanto. Begitu juga di tempat-tempat usaha. Masih ada perbedaan gaji yang dasarnya adalah perbedaan suku.

Itulah yang menurut Harjanto harus diakui terlebih dahulu sebelum diubah. ’’Kita harus berani bilang, ’Ya, saya rasis. Apa yang harus saya lakukan untuk mengubah itu?’,’’ tutur bapak tiga anak tersebut.

Intoleransi yang masih terus hidup itu, kata Harjanto, disebabkan oleh orang-orang yang masih terus melestarikan dogma dan doktrin masa silam yang salah. Yang tidak relevan lagi dengan zaman. ’’Kita ini harus mau mempelajari hal-hal baru yang baik tanpa meninggalkan hal-hal lama yang baik. Jangan sampai kemanusiaan kita dikalahkan oleh dogma atau doktrin. Jangan kita bersembunyi di dalam dogma atau doktrin yang sudah harus diubah,’’ papar Harjanto.

Menurutnya, sikap konsekuen adalah salah satu fondasi penting dalam bertoleransi. ’’Do what you say. Say what you do,’’ katanya. Sekali lagi, aplaus membahana.
Dahlan Iskan menerima boneka wayang potehi tokoh sosok Cukat Liang, sosok terkenal dalam kisah Sam Kok (Tiga Negara). Boneka itu diserahkan oleh Vincent Felix yang didampingi oleh Toni Harsono, Ketua TITD Hong San Kiong, Gudo. Paling kanan adalah Harjanto Halim, dua dari kanan adalah Ardian Purwoseputro.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Pembicara yang lain adalah Dahlan Iskan, founder Harian Disway. Oleh Ardian, Dahlan disebut sebagai Sinophile atau Sinofilia. Orang yang punya ketertarikan besar terhadap kebudayaan dan hal-hal tentang Tiongkok dan Tionghoa. Menurut Dahlan, komunikasi antarbudaya tidak bisa dibangun dengan pidato. Orang tidak bisa terus menerus diceramahi tentang komunikasi lintas budaya itu.

Mantan Menteri BUMN itu lantas menyebut Harjanto yang punya akun TikTok yang viral. Di situ juga ada pesan kehidupan, keberagaman, dan pemikiran-pemikiran sederhana tentang keseharian. ’’Inilah komunikasi modern yang sesuai dengan perkembangan zaman dan disampaikan dengan cara yang tepat,’’ ujar Dahlan.

Bapak dua anak itu juga mengakui bahwa manusia modern memang tetap punya kecenderungan untuk mengelompok ke suku masing-masing. Bahkan ke negara masing-masing. ’’Jadi, tidak usah gelisah, tidak usah marah, tidak usah prihatin, tidak usah ngresulo. Yang penting adalah saling menghormati,’’ katanya. Dan saling menghormati itu bisa dicapai lewat pemahaman pada budaya lain.

Bahkan, kata Dahlan, saat ini muncul ’’kesukuan WhatsApp.’’. ’’Ada kecenderungan berkumpul dalam satu grup, orang-orang yang satu pemikiran. Satu kelompok. Yang tidak sama pendapatnya adalah tersingkir, dikeluarkan, atau left,’’ ucap Dahlan.

Novi Basuki, pembicara ketiga, juga mengakui bahwa pemahaman pada budaya lain itu juga perlu. Ia mencontohkan dirinya, anak Situbondo, tidak pernah bersentuhan dengan warga Tionghoa hingga lulus SMP karena di desanya tidak ada suku Tionghoa, tetapi akhirnya justru kuliah sarjana hingga doktor di Tiongkok. ’’Dan ternyata, ada sisi-sisi budaya Tiongkok yang sejatinya sama dengan agama saya, Islam,’’ ujar Novi.

Salah satunya adalah ajaran Konfusianisme tentang zhong yong atau jalan tengah. Maknanya adalah orang harus menempuh jalan di tengah yang tidak menyimpang dalam mencari kebenaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: