Beban Heritage Nir-imbalan

Beban Heritage Nir-imbalan

TELAH lahir perkumpulan pencinta cagar budaya. Di Surabaya. Namanya Begandring. Lengkapnya, Perkumpulan Begandring Soerabaia. Dikomandani Nanang Purwono. Jurnalis senior pejuang cagar budaya.

Setiap Minggu digelar heritage walk. Juga, suburban track. Mlaku-mlaku telusur warisan. Mengunjungi gedung-gedung cagar budaya dan bersejarah di kota ini. Bersama 30 peserta yang bersedia membayar.

Unik. Membayar untuk jalan kaki keliling beberapa bangunan bersejarah di Surabaya. ”Setiap kali meluncurkan program, dalam waktu singkat langsung penuh,” kata Nanang.

Nama Begandring sendiri berasal dari bahasa Belanda: vergadering. Artinya rapat-rapat. Lalu, dipelesetkan biar gampang diucap lidah Jawa menjadi Begandring.

Apa pun namanya, itu langkah penting untuk sebuah kota bersejarah. Seperti Kota Surabaya. Yang memiliki kawasan dan bangunan lama. Sejarah panjang bumi Nusantara. Juga, tinggalan zaman Belanda.

Tapi, bagaimana Surabaya merawat heritage-nya? Seberapa jauh upaya menjadikan kekayaan sejarah itu sebagai potensi pariwisata? Sudahkah itu menjadi daya saing unggulan?

Tampaknya, harapan menuju ke sana masih jauh panggang dari api. Bahwa sudah ada penjaga cagar budaya secara kelembagaan, ya. Namanya Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Yang diketuai Pak Johan Silas.

Sudah banyak yang dilakukan tim itu. Tapi, masih banyak lagi yang bisa diperbuat selain menjadi stempel pemkot dalam proses perizinan pembangunan maupun pemugaran bangunan cagar budaya.

Sebagai tim ahli, tentu diharapkan banyak produk yang dihasilkan. Mulai produk rancangan regulasi, inisiatif pemanfaatan cagar budaya, hingga pengoptimalan potensinya sebagai keunggulan kota.

Situs, benda, dan bangunan heritage –bernilai sejarah atau tidak– bukan hanya soal menjaga dan melindunginya. Tapi, juga soal mengoptimalkannya menjadi lebih berguna. Karena itu, perlu mempunyai nilai ekonomi.

Apalagi, sebagian besar bangunan heritage di Surabaya sudah beralih ke swasta. Bukan milik pemerintah. Karena statusnya sebagai cagar budaya, pemiliknya tak bisa leluasa memperlakukannya.

Saya pernah punya pengalaman merawat dan menjadikan bangunan cagar budaya bernilai ekonomi. Yakni, menjadikan coffee shop Kantor Pos Simpang dan bangunan cagar budaya di Jalan Tunjungan menjadi hotel.

Tak gampang mengurus perizinannya. Apalagi, tersedia insentif dari niat baik untuk menjadikan bangunan heritage lebih bermakna. Lebih rumit jika dibandingkan dengan mengurus perizinan untuk bangunan baru.

Memang telah ada regulasi yang memberikan keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB). Melalui Perda Nomor 5 Tahun 2005, ada diskon 50 persen bagi pemilik cagar budaya. Sayang, saya belum pernah menikmatinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: