Pasal Selingkuh RKUHP Disoal, Tuntut atau Sidik?

Pasal Selingkuh RKUHP Disoal, Tuntut atau Sidik?

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Pasal selingkuh di RKUHP salah satu yang disoal. Pasal 413 RKUHP di ayat 2, tepatnya pada kata ”Penuntutan”, yang dinilai membingungkan. Penyoal, advokat Frank Hutapea. Pasal-pasal lain sudah disetujui.

BEGINI bunyi lengkap Pasal 413 RKUHP.

1) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama setahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

2) Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

a. Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.

b. Orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Frank Hutapea menyosal isi ayat 2. Tepatnya di kata ”Penuntutan”. Diksi tersebut menjadi rancu, dikaitkan dengan kata berikutnya: ”... kecuali atas pengaduan.”

Frank kepada pers, Jumat, 2 November 2022, mengatakan, ”Penuntutan itu kan proses di pengadilan. Berarti seakan-akan tidak dituntut kecuali bukan laporan istri, suami, anak, atau orang tua. Tetapi polisi bisa menyelidik, menyidik, menersangkakan, bisa menangkap, kalau itu bukan laporan suami atau istri, anak, atau orang tua. Ini roh inti dari Pasal 415 (2) yang menurut saya wording-nya salah total.”

Maksudnya, dengan format itu, polisi bisa menyidik meski tanpa laporan atau pengaduan pihak yang jadi korban. Padahal, pasal tersebut adalah delik aduan. Artinya, hanya bisa disidik polisi jika ada aduan korban.

Polisi dianggap Frank bisa menyidik. Sebab, di pasal tersebut berbunyi ”Penuntutan”, bukan ”Penyidikan”. Jadi, polisi boleh menyidik. Tugas polisi: Sidik. Sedangkan ”tuntut” tugas jaksa penuntut umum (JPU) di pengadilan.

Di situ Frank cermat pada kata demi kata. Sebab, kata demi kata di bahasa hukum harus tanpa cela. Bersifat mengunci. Sehingga tidak ada multitafsir. Sehingga tidak menimbulkan debat kusir.

Tapi, ketelitian Frank tidak imajinatif. Atau imajinasinya kurang hidup. Dalam penerapan pasal tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: