Kuliner Islam dalam Masakan Eropa
Pasta yang kini diolah menjadi lasagna ternyata adalah derivasi dari bahasa Arab yakni ‘lisan’ yang berarti ‘lidah’. --
SEJAK awal keberadaannya, Islam sudah menebalkan diri sebagai agama yang komprehensif. Tidak hanya mengatur persoalan peribadatan belaka, tapi juga persoalan-persoalan yang menyangkut kebutuhan hidup manusia termasuk soal makanan.
Ketika kekaisaran Romawi runtuh pada abad ke-5 M, kerugian terbesar dari hancurnya imperium itu adalah terhentinya laju kemajuan peradaban manusia.
Beruntung pada abad ke-7 M sebuah peradaban lain dengan proporsi sebanding muncul dari dunia Arab, periode yang kemudian ditandai sebagai periode transisi dunia di mana Islam berkembang melampaui batas-batas etnis dan geografis.
Dari situ, dari wilayah-wilayah yang lantas memeluk Islam itu. Orang-orang Arab menjumpai berbagai varietas buah dan sayuran yang sebelumnya tidak mereka kenal. Transplantasi keragaman tanaman dan pohon penghasil buah ke iklim berbeda menjadi tantangan yang memotivasi revolusi pertanian mereka.
Hasil dari semua itu lalu mereka bawa dan budidayakan di Mesir, Suriah, Afrika Utara, Spanyol dan Sisilia. Paralel dengan hal ini, para dokter Muslim turut mengeksplorasi ketersediaan ramuan dan rempah-rempah temuan baru ke dalam kerja-kerja laboratorium dan penelitian dan menjadi otoritas dominan dalam memutuskan apa yang akan dimakan dan kapan memakannya.
BACA JUGA: Doyan Kulineran Menu Timur Tengah? Ada Lima Restoran Terenak di Surabaya
Karya-karya penting yang dihasilkan dokter-dokter Islam itu antara lain: Thâbit Ibn Qurra (836-901); Al-Hâwî fî ‘t-tibb (The Continents) Abû Bakr al-Râzî (865-925); Al-Qânûn fî ‘t-tibb (The Medical Canon) Ibnu Sina (980-1037).
Khalq al-janîn wa tadbîr al-hibâla (Diet Untuk Janin dan Ibu Hamil) Ibn Sa’id al-Qurtubi (abad ke-10); Al-Taysîr fî ‘l-mudâwât wa-‘l-tadbîr Kitâb al-aghdia (Buku Gizi karya Ibnu Zuhr) Abu Marwan Ibnu Zuhr (1092-1161); Kitab Al-Wasla ila al-Habib fii Wasf al-Tayyibat wal-Tibb, Ibn al-Adim, Kamal al-Din (1192-1262).
Wiski yang dikonsumsi sebagai minuman populer di Eropa disebut juga dalam bahasa Arab sebagai sakarka atau ‘alkohol gandum’. --
Atas dasar inilah mengapa seni kuliner dalam ranah Islam tidak berkembang secara serampangan. Sebaliknya, ia menjadi seni tersendiri berdasarkan penelitian medis menyeluruh dan saran ahli gizi.
Bahan-bahan itu dipilih, disusun, dan disebarkan ke masyarakat luas dalam bentuk hidangan yang memiliki khasiat terapeutik. Yakni sebagai obat pencegah sekaligus penambah imunitas tubuh untuk melawan penyakit dan memperlambat proses penuaan.
Hal ini diperkuat pula dengan adanya hadis Nabi yang menjelaskan kewajiban manusia terhadap kesehatan tubuhnya. “Ina li-jasadika ‘alayka haqqan.” Yang artinya, “Tubuhmu memiliki hak atas dirimu”.
Seiring bertambahnya jumlah resep, penulis pun mulai menyusunnya menjadi buku. Beberapa yang terkenal adalah: Kanz al-fawâ’id fî tanwî’ al-mawâ’id, anonim; Mesir abad ke-10, kemungkinan berasal dari Afrika Utara; Fadhalât al-khiwân fî atayyibat at-ta’âm wa-‘l-‘alwân, Ibn Razîn Attujîbî, Spanyol Muslim abad ke-12.
At-tabîkh fî al-Maghrib wa-‘l-Andalus, anonim, Maroko abad ke-12, Muslim Spanyol; At-tabîkh, Mohammed al-Baghdâdî, Irak abad ke-13; At-tabîkh, Ibn Sayyâr al-Warrâq, Irak abad ke-13; Tadhkira, Dâwûd al-Antâkî, Suriah abad ke-13; Wasla ‘l-habîb fî wasf al-tayyibât wa-t-tibb, Ibn ‘Adîm, Suriah abad ke-13.
Ketersediaan terjemahan Latin dari karya-karya Arab tentang kedokteran dan masakan menyebabkan munculnya sejumlah besar panduan dalam bahasa sehari-hari di Eropa untuk kepentingan dokter dan juru masak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: