Pengaruh Budaya Korea Asing terhadap Keberlangsungan Budaya Lokal dan Pendidikan Karakter di Indonesia
BUDAYA Korea yang sudah merasuki anak muda Indonesia.-Korea.net-
BACA JUGA:4 Pemeran Utama Film Korea Boss, Jo Woo Jin dan Jung Kyung Ho Berebut Posisi Pimpinan Mafia
Ketiga, terdapat dampak pada perilaku sosial dan sistem nilai. Drama Korea kerap menampilkan tema-tema seperti romantisme ideal, persahabatan setia, dan semangat kerja keras, yang memengaruhi pandangan remaja terhadap hubungan interpersonal. Sebagai contoh, nilai "sasaeng" (penggemar obsesif) terkadang mendorong perilaku negatif seperti penguntitan terhadap idola virtual. Namun, terdapat pula pesan-pesan positif, seperti semangat ketekunan dalam serial Itaewon Class, yang menginspirasi remaja untuk lebih ambisius.
Survei dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia (2022) mengungkapkan bahwa 35% remaja perempuan merasa tertekan oleh standar kecantikan Korea, yang berkontribusi terhadap peningkatan kasus gangguan makan di kalangan usia muda.
Secara menyeluruh, dampak tersebut telah melahirkan sebuah proses hibridisasi budaya, di mana remaja Indonesia tidak hanya meniru, tetapi juga mengadaptasi unsur-unsur budaya Korea dengan sentuhan lokal, seperti memadukan pakaian tradisional hanbok dengan kebaya dalam aktivitas cosplay. Namun demikian, tanpa adanya pengawasan yang memadai, fenomena ini berpotensi menyebabkan erosi terhadap identitas budaya asli Indonesia.
Pengaruh terhadap Keberlangsungan Budaya Lokal
Masuknya budaya Korea menimbulkan dilema bagi keberlangsungan budaya lokal Indonesia, yang kaya akan keragaman etnis dan tradisi. Budaya pop asing ini, melalui soft power Korea Selatan, telah menggeser prioritas konsumsi budaya remaja, di mana acara lokal seperti dangdut atau wayang sering kalah pamor dibandingkan konser K-Pop.
BACA JUGA:Kocak! Sinopsis Film Korea Boss, Saat Anggota Geng Mafia Berebut Ogah Jadi Bos
BACA JUGA:5 Cara Mix and Match Korean Style untuk Hijabers Agar Tetap Stylish dan Sopan
Salah satu dampak negatif adalah dominasi ekonomi budaya. Industri hiburan Korea, didukung oleh chaebol seperti HYBE dan CJ Entertainment, mendominasi pasar Indonesia. Data dari Asosiasi Konten Indonesia (2023) menunjukkan bahwa impor K-Drama menyumbang 25% pendapatan platform streaming, sementara produksi lokal hanya 15%. Hal ini mengancam kelangsungan industri kreatif nasional, seperti sinetron atau musik pop Indonesia, yang kesulitan bersaing karena anggaran lebih rendah. Akibatnya, musisi lokal seperti Raisa atau Isyana Sarasvati harus mengadopsi elemen K-Pop untuk bertahan, menciptakan fenomena "K-indonesianization" yang melemahkan orisinalitas.
Selain itu, pengaruh pada nilai-nilai tradisional. Budaya Korea menekankan individualisme dan kesuksesan materi, yang kontras dengan nilai gotong royong dan harmoni alam dalam budaya Indonesia. Remaja yang terpapar K-Drama cenderung memprioritaskan karir glamor daripada tradisi keluarga, seperti upacara adat atau gotong royong desa. Sebuah etnografi dari Universitas Gadjah Mada (2022) di Yogyakarta menemukan bahwa 40% remaja Jawa lebih memilih menghabiskan waktu untuk streaming K-Drama daripada belajar seni tradisional seperti gamelan. Ini berpotensi mengikis warisan budaya UNESCO seperti batik atau angklung, jika tidak ada upaya pelestarian.
Namun, tidak seluruhnya negatif. Budaya Korea dapat menjadi katalisator hibridisasi positif. Contohnya, kolaborasi seperti konser HYBE dengan artis lokal atau adaptasi K-Drama menjadi sinetron Indonesia, seperti My Love from the Star versi lokal. Ini memperkaya budaya Indonesia dengan elemen global, membuatnya lebih adaptif di era digital. Meski demikian, tanpa regulasi, keberlangsungan budaya lokal berisiko tergeser, terutama di daerah pedesaan di mana akses internet semakin merata.
Implikasi bagi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter, sebagaimana dipercayakan dalam Kurikulum Merdeka, bertujuan membentuk generasi yang berakhlak mulia, berbasis nilai Pancasila. Masuknya budaya Korea menimbulkan pengaruh dua sisi, yaitu sebagai peluang dalam pengembangan karakter yang bersifat global sekaligus tantangan dalam mempertahankan identitas nasional. Di sisi positif, budaya K-Pop dan K-Drama memperkenalkan nilai-nilai seperti kerja keras (han), empati, dan inovasi yang sejalan dengan tujuan pendidikan karakter. Remaja mendapatkan pelajaran tentang toleransi melalui cerita lintas budaya, seperti romansa antara Korea Selatan dan Korea Utara dalam K-Drama. Tenaga pendidik dapat memanfaatkan fenomena ini dalam proses pembelajaran, misalnya dengan menyatukan analisis K-Drama pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) untuk membahas isu-isu sosial.
Sebaliknya, terdapat pula pengaruh negatif yang muncul, terutama terkait penanaman nilai yang berlebih-lebihan. Budaya idol lebih menekankan penampilan fisik dan popularitas yang instan, yang bertentangan dengan nilai luhur seperti gotong royong dan kesederhanaan dalam budaya Indonesia. Remaja cenderung mengidolakan selebritas K-Pop dibandingkan tokoh nasional seperti Soekarno, yang berpotensi mengubah orientasi nilai dan melemahkan rasa cinta tanah air. Dampak tersebut menuntut adanya kesadaran serta upaya dari berbagai pihak untuk menyaring dan mengelola pengaruh budaya asing agar tidak mengikis identitas nasional yang menjadi pondasi bangsa, melemahkan rasa nasionalisme.
Survei Kemendikbud (2023) mengindikasikan bahwa 55% remaja lebih mengenal sejarah Korea modern daripada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ini menantang pendidikan karakter, di mana guru harus melawan narasi individualis dengan menanamkan nilai kolektif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: