KEMARIN (21/8), jalan tol itu resmi beroperasi. Cukup bersejarah. Juga prestisius. Ia menghubungkan Nagchu dan Lhasa, wilayah otonomi Tibet. Panjangnya 295 kilometer. Ketinggian rata-ratanya ada di 4.500 meter di atas permukaan laut. Tak pelak, ia pun digelari sebagai jalan bebas hambatan tertinggi di dunia.
Sebelumnya, ruas Nagchu-Yangbajain sudah lebih dulu beroperasi. Panjangnya 227 kilometer. Ruas inilah yang akhirnya disambung dengan Yagbajain-Lhasa. Inilah jalan pertama yang menghubungkan Lhasa, ibu kota Tibet itu, dengan padang rumput di utara wilayah otonomi tersebut. Ia juga akan menjadi bagian dari jalan bebas hambatan Beijing-Lhasa di masa depan.
Jalan tol itu akan mempersingkat perjalanan Lhasa-Nagchu menjadi sekitar tiga jam. Biasanya, perjalanan antara dua kota itu harus ditempuh dalam enam jam atau lebih.
Menurut seorang pejabat kementerian, jalan bebas hambatan itu diproyeksikan memperbesar kapasitas transportasi yang menghubungkan Tibet dengan Provinsi Qinghai di barat laut Tiongkok.
Negeri Panda itu memang sedang getol membangun hingga kawasan pelosok. Wajah pedesaan pun mulai berubah. Rumah-rumah tapak berganti menjadi hunian bertingkat. Termasuk di Tibet. Kesibukan pembangunan di Negeri Atap Dunia itu dipotret oleh Agence France-Presse melalui serangkaian liputannya.
Di bawah gugusan gunung yang menopang langit, blok-blok perumahan bermunculan. Crane seolah tak pernah beristirahat menciptakan gedung-gedung baru. Beijing berpendapat bahwa pembangunan itu ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup warga di dataran tinggi tersebut. Karena itu, jalan baru bermunculan. Jalur kereta api dilahirkan. Bandara dibangun.
PARA WISATAWAN yang berpose di depan Istana Potala, Tibet.
(Foto: HECTOR RETAMAL-AFP)
Pembangunan itu bukan tanpa kritik. Wajah asli Tibet dinilai mulai tergerus. Selain itu, kesenjangan antara warga kaya dan miskin pun makin lebar.
Tak jauh dari Istana Potala, bekas rumah Dalai Lama, sebuah kondominium dibangun oleh Country Garden, developer Tiongkok. Hunian baru itu dibanderol dengan harga sama seperti di berbagai penjuru negeri. Padahal, pendapatan warga Tibet terbilang paling rendah di Tiongkok. Maka, yang bisa memiliki rumah baru itu pun hanya yang berduit. Tidak menutup kemungkinan, yang datang justru orang-orang dari luar Tibet. (Doan Widhiandono)
WAJAH BARU TIBET yang penuh dengan gedung-gedung menjulang.
(Foto: HECTOR RETAMAL-AFP)