Mens rea dicetuskan di tulisan Sir Edward Coke SL (1552–1634), ketika ia jaksa agung Inggris dan Wales (16 Juni 1592–10 April 1594).
”Actus non facit reum nisi, mens sit rea.” Artinya: Suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali saat melakukannya, pikiran orang itu bersalah.” Satu kata: Nawaitu.
Mens rea Juliari memotong Rp 10.000 per paket bansos senilai Rp 300.000, sebanyak jutaan paket, diketahui hakim. Publik pun tahu. Itu kejahatan. Sehingga, sebelum Juliari divonis pun, publik sudah menghakimi. Bullying.
Ketika bullying publik terhadap Juliari dijadikan ”sumber kasihan” hakim, muncullah protes. Kendati majelis hakimnya sudah paham, bahwa mereka bakal diprotes. Dan, tetap mereka lakukan. Bodoh amat.
Uniknya, pegiat antikorupsi fokus ke hakim. Bukan ke jaksa KPK. Yang menuntut 11 tahun penjara. Sedangkan hakim menvonis 12 tahun.
Masyarakat kayaknya lupa, bahwa Ketua KPK Firli Bahuri di awal pandemi korona pernah mengingatkan pejabat publik: Jika ada yang berani korupsi terkait pandemi korona. Bakal dituntut hukuman mati.
Firli Bahuri di rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Rabu, 29 April 2020 (sekitar dua bulan sejak awal pandemi korona) mengatakan:
"Keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi. Maka, yang korupsi dalam suasana bencana, tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum, yaitu tuntutannya pidana mati.”
Itu bukan tanpa dasar. UU Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 ayat 1 menyebut:
"Setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar."
Dilanjut Pasal 2 ayat 2: "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."
Dalam penjelasan mengenai pasal 2 ayat (2), yang dimaksud "keadaan tertentu" adalah apabila tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu terjadi bencana alam nasional; sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Pernyataan Firli di Komisi III DPR RI, ada kalimat: ”tidak ada pilihan lain”. Sangat tegas. Akhirnya, jaksa KPK menuntut Juliari 11 tahun penjara. Bukan hukuman mati, sesuai warning.
Yang berarti, jaksa menafsirkan bahwa korupsi Juliari tidak terkait Pasal 2 ayat 2 UU Tindak Pidana Korupsi.
Gampangnya, Juliari korupsi bansos korona. Sedangkan pandemi korona tergolong bencana non-alam. Bukan bencana alam, seperti termaktub pasal tersebut. Beda-beda tipis di kata ”non”.
Betapapun, perkaranya sudah inkrah. Sudah jadi masa lalu. Sudah tamat.