SURABAYA, HARIAN DISWAY - Bali memesona make-up artist Aixa Paramitha untuk inspirasinya menuangkan kekayaan Indonesia dengan budayanya. Dia menampilan riasan yang berbeda agar Bali tampil kontemporer.
Riasan adat Bali ini adalah eksplorasi Mitha -panggilannya- terhadap seni rias dari berbagai suku di Indonesia. Tak mudah, katanya. Mendalami riasan nasional nyatanya butuh ilmu mendalam. Sebab setiap daerah memiliki pakem yang tidak boleh dilanggar.
"Sebut saja adat Makassar. Detail rias mengedepankan pada penggunaan bedak berwarna merah muda dengan alis yang tegas. Berbeda lagi dengan Solo. Tampilan cenderung dekat dengan warna kuning dengan kontur alis melengkung,” terang pemilik Mythamorphosis Weddiang and Art itu.
”Kalau Bali sendiri, polesan wajah yang dihasilkan tajam banget di setiap detail. Dalam kasta tertinggi, menggunakan payas agung dengan ciri khas ornamen pada wajah bernama pidih. Tapi balik lagi, karena ada kasta yang saklek. Kita tidak bisa asal menerapkannya,” tambah Mitha.
Ciri khas make-up pengantin adat Bali itu adalah sangat menjaga kelestarian budaya dengan baik. Sehingga tata riasnya juga tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Terdapat ritual khusus yang perlu dilakukan ketika merias mempelai pria maupun wanita.
Yang paling penting, riasan ini disesuaikan dengan kasta dari pengantin. Kasta dapat dilihat dari keturunan yang diemban oleh masyarakat setempat. Riasan pun harus disesuaikan menurut kedudukan. Jika yang dirias berasal dari kasta Brahmana, maka kesan glamor dan identitas kebangsawanan akan begitu ditonjolkan.
Hal ini juga berlaku untuk kasta-kasta lainnya. Secara budaya, terdapat ritual tersendiri dengan tata cara disesuaikan agama Hindu dalam hal merias pengantin. Karena pernikahan dianggap sebagai hal yang magis juga sakral bagi masyarakat Bali.
Sebagai siasat, Mitha mencoba untuk bermain lebih aman. Dalam kaidah perkawinan Bali, ada kasta yang harus ditaati. Masing-masingnya memiliki ciri khas sendiri. “Saya memakai kasta tengah. Yang sekiranya bisa dipakai masyarakat umum,” katanya.
Menurut Mitha, ada empat tingkatan kasta dalam pakaian serta riasan pengantin adat Pulau Dewata. Adat payas agung, payas jangkep, payas madya, dan payas alit. Yang diterapkan Mitha untuk modelnya yang bernama Deva Putri Haniardi ini adalah payas ngidih atau riasan lamaran.
Tampilan ini biasanya disebut dengan payas jangkep. Jenis rias dan busana yang dipakai lebih santai dari payas agung. Menampilkan kain adat khusus untuk upacara pernikahan. Kendati demikian, busana yang dipakai untuk riasan payas ngidih harus tetap cantik dan elegan.
Riasan ini menggunakan aksesori payas lengkap. Namun tidak se-glamor payas agung sebagai pilihan untuk digunakan di acara-acara formal dan keagamaan. Seiring perkembangan zaman, ada beberapa pengantin yang mulai berani menggunakan perhiasan pada payas jangkep ini untuk pernikahan.
Namun sekali lagi, tetap ada batasan yang harus ditaati. Mitha memahami dinamika tersebut. Jadi, dirinya turut melakukan penyesuaian sehingga karyanya juga dapat dinikmati masyarakat Surabaya sebagai pangsa pasar utama.
Polesan khas Pulau Dewata yang dapat disimak dalam beberapa poin. Alisnya berwarna abu-abu. Sanggul modern tidak sepenuhnya Bali. Namun dimodifikasi sedemikian rupa agar tampak lebih modern. Akulturasi unsur modern dimasukkan ke dalam pembuatan adat.
Hasilnya jadi lebih menarik. Balinya dapat tapi dengan sesuatu yang kekinian. Perhiasan payas ngidih atau payas jangkep antara lain bunga kap emas yang terletak diujung atas riasan rambut pengantin Bali, subeng atau cerorot, gecek, gelang nagasatru, dan sandat emas.
Dilanjutkan dengan empak-empak emas (bancangan). Yaitu kumpulan bunga emas yang menyerupai bentuk semanggi yang dirancang khusus untuk membuat pemasangan bunga menjadi rapi dan kokoh.