Dana Abu-Abu

Senin 20-09-2021,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Harian Disway - GARA-GARA Krisdayanti bicara jujur. Ngomong apa adanya. Negara ini menjadi heboh.

Diva pop yang kini menjadi anggota DPR itu menceritakan jumlah gaji yang diterima selama ini. Detail. Berapa jumlah dan tanggal berapa diterima. Akibat ”nyanyiannya” kali ini, semua orang jadi tahu jumlah pendapatan yang legal diterima para anggota terhormat.

Beragam tanggapan. Sebagian besar tentu mengkritik: Menganggap apa yang diterima para wakil rakyat itu terlalu besar.  Bahkan, muncul trending Twitter ”DPR makan gaji buta”. 

Yuk kita kaji berapa gaji yang diungkapkan politikus PDIP itu:

Setiap tanggal 1, dapat gaji pokok Rp 16 juta. Mungkin masih dibilang wajar.

Setiap tanggal 5, mendapat tunjangan Rp 59 juta. Kalau ditotal gaji dan tunjangan: Rp 75 juta. Sementara gaji presiden: gaji pokok 30,2 juta dan tunjangan jabatan Rp 32,5 juta. Totalnya 62,7 juta. Kalau bicara gaji pokok dan tunjangan, pendapatan para wakil rakyat lebih besar.

Gaji yang diterima para menteri jauh lebih kecil, tak lebih dari Rp 20 juta.

Yang menjadi sorotan adalah penerimaan dana reses dan dana aspirasi. KD –begitu perempuan asal dapil Malang Raya itu biasa disapa– mengungkapkan bahwa dana aspirasi mencapai Rp 450 juta, 5 kali dalam setahun. Sementara itu, dana reses yang digunakan untuk mengunjungi dapilnya sebesar: Rp 140 juta. ”Delapan kali dalam setahun,” kata KD dalam podcast dengan Akbar Faizal itu.

Nah, seberapa jauh efektivitas dua dana itu? Tidak sedikit yang menilai termasuk dalam kategori dana abu-abu. Apakah dana aspirasi Rp 450 juta yang diterima 5 kali dalam setahun itu efektif diterima rakyat?

Dalam proses dana aspirasi itu, para anggota DPR punya hak untuk merealisasikan proyek yang diusulkan masyarakat daerah pemilihannya. Atau usulan pemerintah setempat. Atau inisiatifnya sendiri. Lantas, anggota dewan memasukkan proyek tersebut dalam program pemerintah yang dibiayai APBN. Di situ, para wakil rakyat memang tidak memegang dananya.

Uangnya memang tidak di tangan. Namun, berbagai kasus menunjukkan itu juga wilayah abu-abu. Masih ingat ketika dua anggota DPR: I Putu Sudiartana (Demokrat) dan Damayanti (PDIP) yang dicokok KPK. Mereka ditangkap gara-gara dana aspirasi proyek jalan raya Tehoru–Laimo, Maluku Utara. Mereka mendapat fee dari pengusaha yang menggarap proyek itu. Modus korupsinya tidak disunat langsung di APBN, tetapi lewat pintu pelaksana proyek yang mereka menangkan.

Kasus lain, Taufik Kurniawan, mantan wakil ketua DPR. Politikus PAN itu juga keciduk KPK gara-gara menjadi makelar proyek. Ia pun dijerat karena menerima fee proyek yang ”diperjuangkan” agar masuk DAK APBN. Kasus di Kebumen pada 2018.

Kejadian seperti itulah yang membuat kredibilitas para wakil rakyat tersebut tergerus. Sangat wajar bila ada tudingan wakil rakyat itu sebagai makelar proyek. Padahal, bisa jadi banyak juga yang bekerja sesuai dengan aturan itu.

Citra dan cerita negatif DPR tersebut seperti jalan tak berujung. Dari dulu pun seperti itu. Pada era 2004–2009 pun pernah ada upaya untuk membangun citra dewan. Salah seorang wakil ketua DPR saat itu, Zaenal Maarif, beserta sejumlah anggota dewan, keliling Indonesia untuk mencari solusi menjaga citra dewan.

Saya pun sempat mengikuti rangkaian diskusinya. Intinya, para anggota DPR  harus membuat laporan terbuka di setiap kegiatannya. Setiap unit internal DPR seperti fraksi dan komisi juga begitu. Namun, itu rupanya seperti menegakkan benang basah. DPR tetap belum mampu membangun citranya

Tags :
Kategori :

Terkait