Mereka pun gojekan tentang dunia teater zaman dulu hingga sekarang.
Gojekan adalah istilah guyonan untuk orang Yogyakarta. Bermain-main kata yang membuat lucu disebut dengan gojek. Itulah yang biasa dilakukan kelompok perkawanan di kota budaya itu.
Para seniman tersebut mentertawakan sulitnya menjadi seniman di zaman Orde Baru. Zaman pemerintahan otoriter Soeharto yang lengser akibat gerakan reformasi tahun 1998. Zaman yang mungkin akan dianggap aneh generasi sekarang.
Mereka menceritakan bagaimana dulu naskah drama harus diperiksa polisi sebelum pentas. Dari kata per kata. Kalau sampai ada kata-kata yang mengkritik pemerintah atau menyinggung SARA (suku, agama, ras, antar golongan) pasti tak akan diizinkan.
Pada zaman itu, semua kegiatan harus izin polisi. Bahkan, kegiatan kesenian apa pun. ”Demikian juga kegiatan mahasiswa. Harus ada daftar nama siapa saja pesertanya. Bahkan, terkadang dicek namanya saat pelaksanaan,” kata Dodi.
Kurang pekerjaan kan?
Tak hanya itu. Selain harus dapat izin dari kepolisian, terkadang juga harus uber-uberan dengan bekel. Petugas lapangan dinas pajak kota. Yang mengawasi iklan-iklan promosi pertunjukan yang dipasang di area publik.
"Uber-uberan kalau sedang memasang poster pertunjukan. Biasanya memasang poster juga di tembok-tembok toko. Poster tulisan tangan. Pakai lem kuat. Bikin jengkel juga pemilik tokonya," kata seorang seniman tua sambil terkekeh.
Butet punya kiat lain agar Teater Gandrik selalu dapat izin pentas. Selalu menyiapkan dua naskah. Yang satu naskah asli, satunya naskah yang disetor ke polisi. Yang ke polisi naskah yang tak ada kata-kata sensitif.
Teater Gandrik adalah teater yang didirikan dan tetap eksis sampai sekarang. Itulah kelompok teater yang selalu mementaskan naskah karya sendiri. Bergaya sampakan. Teater yang kalau pentas sering membuat gerrr penontonnya.
Butet terus berkreasi lewat Teater Gandrik dan monolog-monolognya. Sementara itu, Cak Nun yang dulu aktif bersama dalam Teater Dinasti sudah sejak lama bergerak sendiri dengan Kiai Kanjeng bersama kelompok lainnya. Berkeliling mencerahkan umatnya.
Kini pertunjukan kesenian tak lagi harus izin pihak kepolisian. Hanya pemberitahuan. Tak harus menyetorkan naskah drama maupun daftar nama yang hadir. Pajak juga bisa memperoleh keringanan. Semestinya dunia kesenian makin marak karenanya.
Gojek seniman pun kini juga sudah berubah. ”Jika dulu yang bikin gerr penonton tema-tema sarkas tentang kekuasaan, kini tak lagi demikian. Yang menghibur justru sarkasme terhadap potensi konflik horizontal. Bukan vertikal,” jelas Butet.
Gojek seniman pun harus berubah sesuai dengan perubahan zaman. Generasi sekarang tak pernah menikmati "asyiknya" ulah penguasa yang selalu mengontrol warganya. Realitas sosial berubah, model gojekan pun harus berbeda.
Rasan-rasan tentang dinamika pertunjukan kesenian dulu dan sekarang berlanjut di meja makan. Menikmati masakan istrinya yang asli Samarinda. Yang jago masak segala makanan enak penggoyang lidah.
Kali ini Butet belum kembali lahap dengan makannya. Tapi, ia sudah kapok dengan kecerobohannya. Entah sampai kapan. (*)