Bagaimana komunikasi mereka pesan logistik? Terungkap di barang bukti. Ali dan Jaka membawa senapan serbu M-16, golok, beberapa bom, dan ponsel Android. Jadi, selain butuh beras, teroris juga butuh pulsa.
Seperti diprediksi pengamat, Ali Kalora tidak secerdas pendahulunya, Santoso, yang tewas dalam baku tembak dengan Satgas Tinombala di Pegunungan Ambarana, Poso, Sulawesi Tengah, Senin, 18 Juli 2016.
Santoso adalah jagoannya Abu Bakar Ba’asyir bin Abu Bakar Abud (lahir di Jombang, Jatim, 1938, kini masih hidup).
Kabag Banops Densus 88 Kombes Aswin Siregar membeberkan, teroris Poso tak lepas dari Ba'asyir. Ceritanya panjang. Ringkasnya, ia ceritakan kepada pers, Sabtu (25/9), begini:
Pada 10 Maret 1972 (zaman Orde Baru) Ba’asyir bersama Abdullah Sungkar mendirikan Pesantren Al-Mu’min di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Di zaman itu semua kelompok wajib mengakui asas tunggal Pancasila.
Ba’asyir dan Sungkar menolak. Mereka kabur ke Malaysia karena diburu aparat. Pada 1993 di sana mereka mendirikan Jamaah Islamiyah (JI). Setelah Orde Baru tumbang, Ba’asyir pulang ke Indonesia.
Ba’asyir membawa JI ke Indonesia, kemudian pada 2008 ia bersama Abu Tholut mendirikan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT).
Aswin: ”JI dan JAT sumber lahirnya teroris Poso.”
Teroris Poso, disebut juga kelompok MIT, lahir dibidani JAT. JAT memilih Santoso memimpin JAT, gerakan teroris berpusat di pegunungan Kabupaten Poso, Parigi Moutong, dan Sigi, Sulteng.
Dilanjut: "Kelahiran MIT dibidani JAT, organisasi teroris yang didirikan ABB (Abu Bakar Ba'asyir) pada 2008. Ditunjuklah Santoso alias Abu Wardah sebagai pemimpin MIT."
Sebagai organisasi teror, mereka butuh latihan militer. Ditetapkan, mereka latihan militer di Aceh.
"Kepolisian berhasil mengendus kegiatan latihan militer mereka di daerah Jantho, Aceh. Polisi memburu semua peserta pelatihan itu, termasuk Abu Bakar Ba'asyir," sambungnya.
Anggota JI, Dulmatin, yang terlibat di kasus Bom Bali 2002, tewas dalam kontak tembak dengan Densus 88 di daerah Ciputat, Tangerang Selatan, setahun berikutnya.
Pada 2010, Aswin menjelaskan, Santoso melaksanakan Qoidah Aminah Tanzim jihad Negara Islam. Melakukan perekrutan anggota, mengumpulkan senjata. Latihan militer, pindah ke Gunung Mauro, Gunung Biru, dan Tamanjeka, Kabupaten Poso, Sulteng.
Aswin: "Selama masa kepemimpinan Santoso, berbagai aksi teror dilakukan MIT. Tidak lama setelah Santoso dilantik, MIT membunuh seorang warga sipil bernama Hasman Mao di Desa Masani, Poso Pesisir. Dua belas hari kemudian, MIT juga membunuh dua anggota kepolisian, Briptu Andi Sapa dan Brigadir Sudirman."
Berbagai pembunuhan dilakukan kelompok MIT, sampai Santoso tewas dalam baku tembak dengan aparat. Lalu, perannya digantikan Ali. Yang ternyata melakukan teror lebih sadis: Menggorok korban.