Pemkot Surabaya akhirnya mencari bantuan untuk mengurai masalah pedagang di eks Hi-Tech Mall. Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Polrestabes Surabaya turun tangan mencari solusinya kemarin (1/10). Mereka mengadakan pertemuan tertutup untuk mempertegas hubungan antara pemkot dan pedagang.
----
GEDUNG eks Hi-Tech Mal makin tak terurus. Cat bagian luarnya sudah mengelupas dan memudar. Bekas pusat TI terbesar di Indonesia Timur itu sudah dua tahun tanpa pengelola.
Pemkot Surabaya tak segera menemukan investor setelah kontrak kerja sama dengan PT Sasana Boga habis pada 31 Maret 2019. Maklum, harga sewa gedung lima lantai itu mahal: Rp 18,5 miliar per tahun.
Belum ada pengusaha yang tertarik. Apalagi, kondisi sarprasnya rusak di sana sini. Elevator dan lift mati. ”Sebenarnya sempat diperbaiki Sasana Boga saat serah terima. Tapi, setelah itu tidak pernah nyala lagi,” kata Ketua Paguyuban Pedagang Hi-Tech Mall Ruddy Abdullah seusai rapat dengan Polrestabes dan Kejari Surabaya.
Jika elevator dan lift difungsikan, siapa yang akan menanggung beban listriknya. Pemkot jelas enggan menanggungnya sejak 2019. Tak ada rencana mempertahankan pedagang saat itu.
Pemkot justru ingin merombak habis-habisan Hi-Tech plus Taman Remaja Surabaya (TRS) dan Taman Hiburan Rakyat (THR). Tiga tempat ikonik yang kini mati suri itu akan dihidupkan lagi untuk UMKM dan seniman.
Pedagang diminta mengosongkan stan mereka. Namun, mereka melawan. Dukungan muncul dari DPRD Surabaya. Ketua DPRD Surabaya (2014–2019) Armudji yang kini jadi wakil wali kota menjadi penjamin mereka.
Pedagang boleh berjualan lagi. Tapi, masalah mulai muncul. Terutama terkait kontrak sewa pedagang dengan pemkot. ”Selama dua tahun ini tidak ada tanda tangan kontrak,” ujar Ruddy yang berdagang sepatu kulit itu.
Masalah tersebut dibahas Kejari dan Polrestabes Surabaya kemarin. Mereka menyarankan kontrak kerja sama antara pemkot dan pedagang harus terealisasi segera agar tidak ada masalah hukum di kemudian hari.
Para pedagang sebenarnya sangat ingin kontrak itu terwujud suoaya bisa berbisnis dengan tenang. ”Kami akan bayar seperti tahun-tahun sebelumnya. Cuma, kalau ada kontrak, harus jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak,” lanjut Ruddy.
Kewajiban pedagang adalah membayar sewa. Nah, hak yang akan dituntut adalah pelayanan mal. Mulai kebersihan, eskalator, lift, pendingin ruangan, sarana promosi, hingga keamanan.
Persoalannya, pengelola sementara eks Hi-Tech adalah Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Surabaya. Mereka tak punya wewenang menjadi operator mal. Jika pemkot tidak menunjuk pengelolaan baru, DPBT hanya akan jadi tukang tagih.
Dalam pertemuan kemarin, muncul fakta soal harga sewa mal. Per meter persegi mencapai Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Pedagang menolak angka itu. ”Angkanya muncul dari tim appraisal,” kata Ruddy.
Nilainya diukur berdasar berbagai indikator. Salah satunya adalah perbandingan harga sewa di mal TI lain.