Dari Resi Kusumodewo, Kusnadi memperoleh nama baru. Ia memasang salah seorang murid kesayangan sang resi karena potensi spiritual dan kegigihannya.
Di Jalan Jetis Kulon, Surabaya, semua orang menyaksikan pemberian nama yang dilakukan oleh Resi Kusumodewo kepada Kusnadi. Nama barunya adalah Legino Marto Wiyono. Seperti nama khas priyayi Jawa.
Sepertinya resi telah merasakan potensi muridnya itu di masa depan. Tentu beberapa murid resi dan semua pemeluk Budda Jawi Wisnu saling melempar pandang. Sebab dari sekian banyak orang yang hadir, hanya Kusnadi yang diberi nama baru.
”Ketika itu saya langsung bertanya pada Romo Resi. Apa arti Legino Marto Wiyono?,” kenang Legino. Resi Kusumodewo dengan lembut menjelaskan bahwa Legino berarti sifat suka memberi. ”Kalau punya sesuatu tidak eman,” ujar Legino.
Marto berarti wulangan atau ajaran. Sedangkan Wiyono berarti kuat. Makna keseluruhannya, Legino Marto Wiyono berarti orang yang kuat dalam mengajarkan budi pekerti, agama dan tidak pernah eman dalam membagi ilmunya.
Tak hanya Legino, istri dan anaknya diberi nama baru. Rumani adalah nama baru istri Legino. Artinya agar dia senantiasa arum atau harum. Dapat mengharumkan nama agama serta mendampingi suami dalam berkeyakinan terhadap Tuhan.
Putri sulung mereka diberi nama Sutrima. Artinya, agar dia dapat menerima ajaran luhur Budda Jawi Wisnu dengan baik. ”Juga agar dalam hidupnya dia selalu mensyukuri hidup atau nriman. Tak pernah mengeluh dan selalu berdoa,” ungkap Legino.
Hari itu ia beserta istri dan putrinya mengucapkan sumpah sebagai pemeluk Budda Jawi Wisnu untuk kedua kalinya. Sebelumnya, ia telah disumpah oleh Poniman, sesepuh Budda Jawi Wisnu.
Namun karena surat keterangannya belum ada, ia menjalani sumpah kembali. Tentu kebanggaan baginya, karena melakukannya di hadapan pemimpin pusat atau Resi Budda Jawi Wisnu.
Perlahan ia meraba kembali pin cakra di bahu kirinya. Pin itulah yang membuatnya bertemu dengan dua orang sesama pemeluk Budda Jawi Wisnu. Perstiwa itu mengantarkannya pada perjumpaan dengan Resi Kusumodewo.
”Ada empat bagian warna dalam pin cakra. Paling luar berwarna hitam, kemudian di bawahnya adalah merah, lalu kuning dan tepat di tengah-tengahnya berwarna putih,” ujarnya, ketika ditemui Harian Disway, di kediamannya, Jalan Bratang Gede III-I Surabaya.
Resi Kusumodewo menyematkan pin tersebut di bahu kirinya. Saat itu ia banyak menjabarkan filosofi cakra. Keempat warna sebagai simbol arah mata angin, sekaligus sebagai senjata utama Dewa Wisnu.
”Romo Resi menunjukkan dan menerangkan isi kitab Wedda Jaya Sampurna dan Angger-angger soho wewaler agami Budda Jawi Wisnu,” ujar pria 78 tahun itu. Keduanya merupakan kitab suci bagi pemeluk Budda Jawi Wisnu.
Wedda Jaya Sampurna diperkirakan disusun oleh leluhur pemeluk kepercayaan tersebut pada ’1900an. Selain menerangkan babagan agama, buku yang ditemukan di daerah Kawi, Malang itu menyebutkan pembagian wilayah administratif yang masih menggunakan tata cara kolonial.