Namun, keinginan itu tidak bisa dilakukan karena keterikatan wilayah aglomerasi. “Di satu sisi Surabaya sedikit kecewa. Gara-gara aglomerasi, mereka jadi tidak bisa menyusul Blitar,” ujar dr Erwin.
Kendati begitu, pemerintah pusat tetap memberikan kelonggaran untuk Surabaya. Tempat wisata, mal, pusat kebugaran sudah boleh buka meski dengan kuota pengunjung 25 persen.
Menurutnya, penentuan wilayah aglomerasi adalah hal yang ilmiah. Surabaya yang memiliki lalu lintas penduduk yang begitu tinggi. “Surabaya baru dikatakan aman betulan jika lingkungannya aman,” ujar dokter yang menempuh pendidikan sarjana hingga doktor di Fakultas Kedokteran Unair itu.
Ia teringat dengan peristiwa penutupan Jembatan awal Juni lalu. Terjadi ledakan kasus di Bangkalan. Setelah tiga pekan penutupan, Balai Kota Surabaya digeruduk warga Madura. Dalam satu pekan, penyebaran besar-besaran juga terjadi di Surabaya. “Kami tidak menyalahkan Bangkalan. Ini bagian dari risiko yang kita hadapi bersama jika tidak fokus ke strategi epidemiologi yang benar,” ujar spesialis penyakit dalam itu. (Salman Muhiddin)