Tragedi 1965 membuat para penganut kepercayaan takut membuka diri. Termasuk Legino Marto Wiyono. Ia susah mencari saudara seiman yang terserak. Namun takdir membawa pertemuan pertamanya dengan Resi Kusumodewo.
Susah payah mencari. Setelah ketemu, yang ditemui menghilang lagi. Itulah yang dirasakan oleh Legino setelah era 1965. Bahkan sampai akhir dekade ’70an. Semua orang khawatir dituduh sebagai aliran sesat. Yang lebih mengerikan jika sampai dituduh PKI.
Saat itu Budda Jawi Wisnu belum diakui sebagai agama resmi. Legino mencari sesama penganut. ”Setelah ketemu, selang beberapa hari pindah rumah. Sama saudara seiman saja khawatir lho. Pada era itu, semua saling curiga. Tak ada yang pasti. Siapa kawan siapa lawan,” ujarnya.
Setengah putus asa, Legino melakukan semua peribadatan sendirian saja. Baik berdoa, meditasi, suro, palguna atau upacara-upacara besar. Kalau pun ditemani, hanya ada keluarga kecilnya saja. Istri dan kedelapan anaknya.
Setiap upacara peringatan hari besar, Legino tak lupa menyertakan makanan-makanan sebagai persembahan untuk Gusti Hulun Hyang Wisnu. Lantas untuk Dewa-Dewi, Bathara-Bathari, hingga penguasa gaib di daerah mereka tinggal.
Seusai upacara, biasanya Legino membagi-bagikan makanan kepada warga sekitar. ”Untung pada zaman itu warga sekitar rumahny tak mempermasalahkan. Sampai sekarang. Mereka mempersilakan. Saya selalu terangkan bahwa saya sedang menjalankan kepercayaan saya sendiri. Sekaligus untuk berbagi,” ujarnya.
Tetapi ia tak menampik bahwa dulu sering ada ujaran-ujaran bernada sinis dari beberapa orang di luar daerah rumahnya. ”’Beragama itu mbok ya memeluk agama yang benar. Kepercayaan yang benar.’ Saya sering mendengar omongan sinis seperti itu,” ungkap pria 78 tahun itu.
Legino hanya menjawab bahwa setiap orang harus percaya dulu untuk dapat memeluk sesuatu. ”Saya juga begitu. Memeluk Budda Jawi Wisnu karena di dalamnya mengandung ajaran kebaikan,” tambahnya.
Apa yang salah dari agama Budda Jawi Wisnu? Sama dengan agama lain yang dianggap benar, Budda Jawi Wisnu mewajibkan pemeluknya untuk taat pada Tuhan dan laku perbuatan baik. Ujaran-ujaran miring seperti itu justru dianggap ujian bagi kekuatan imannya. Ia tetap teguh memeluk. Tak tergoda sedikit pun untuk berpaling.
Selama memeluk Budda Jawi Wisnu itulah, Legino selalu mendapat cerita dari guru-guru atau para pemeluk lain tentang sosok Resi Kusumodewo. Pemimpin tertinggi Budda Jawi Wisnu, sekaligus pendiri agama tersebut pada 1925.
Sebenarnya Legino mencoba mencari jejaknya sekian lama. Tapi tak pernah berhasil. Sebab sang Resi sering berpindah-pindah tempat. Demi mengunjungi para penganut di tiap daerah sambil aktif berderma.
Hingga suatu siang pada 1980. Legino sedang berjalan-jalan di sekitar lingkungan rumahnya. Ketika duduk sejenak di sebuah kedai, datang dua orang. Mereka berpakaian Jawa dengan pin bergambar seperti matahari yang tersemat di dada kirinya.
Legino terkejut. Ia bertanya kepada mereka berdua. ”Sampeyan kok punya pin begitu?” Kedua orang itu menatap mata Legino. Pikir mereka, tak mungkin orang seperti Legino tahu tentang arti pin itu. Keduanya saling bertatapan. Tak menjawab.