Kesejahteraan Guru Honorer Masih Gelap

Kamis 25-11-2021,14:59 WIB
Editor : Doan Widhiandono

Tema Hari Guru Nasional ke-29 yang jatuh pada hari ini begitu mengesankan. Yaitu, Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan . Tema itu amat relevan justru jika disandingkan dengan para guru honorer. Misalnya, Mei Kurniatul Adawiyah, seorang guru honorer yang mengajar di tiga sekolah sekaligus.

’’YANG kemarin sudah sampai mana? Demokrasi ya?” tanya Nia, sapaan karib dari Mei Kurniatul Adawiyah, kepada 14 muridnya di ruang kelas. Dia berdiri di hadapan anak-anak kelas 9. Pakaiannyi serasi. Berbaju batik hitam-putih khas PGRI, rok dan jilbab hitam, sambil menenteng buku tipis di tangannya.

Nia sedang mengajar mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), kemarin (24/11). Dia memang baru satu tahun mengampu mata pelajaran itu di SMP 6 PGRI Surabaya. Menggantikan rekan guru lainnya yang telah resign .

Sedangkan, Nia sendiri sebetulnya guru mata pelajaran Matematika. Dan sudah mengajar di sekolah swasta di Jalan Bulak Rukem III itu sejak lima tahun terakhir. Dia juga tak merasa keberatan mengajar mata pelajaran yang tidak linear dengan keilmuannya. “Karena lumayan buat nambah jam mata pelajaran,” katanyi.

Bagi guru honorer, jumlah jam mata pelajaran yang mereka ampu sangat berarti. Sebab, upah mereka berbeda dengan guru ASN maupun kontrak. Gaji guru honorer bergantung pada jumlah jam mata pelajaran. 

Kini, Nia mendapatkan total jam mata pelajaran sebanyak 21 jam. Terdiri dari 15 jam Matematika dan 6 jam PPKn. Upahnya Rp 30 ribu tiap jam mata pelajaran. Artinya, Nia hanya mengantongi sekitar Rp 630 ribu per bulan. “Jadi, lumayan daripada sebelumnya,” ungkap sarjana pendidikan dari Universitas PGRI Adi Buana itu.

Tentu, kata Nia, dengan upah segitu tidak cukup untuk kebutuhan hidup. Dia bekerja lebih keras lagi. Tidak hanya mengajar di satu sekolah itu saja. Ada dua sekolah lagi yang membutuhkan jasanyi. Yakni sebagai guru Matematika di SMK Arief Rahman Hakim dan SMK Puruhita. 

Di dua sekolah itu mendapat masing-masing 8 jam mata pelajaran. Dengan begitu, Nia mengajar di tiga sekolah sekaligus. Jadwal pun sudah disesuaikan. Tidak ada yang bertabrakan. Juga tak perlu banyak wira-wiri . Hanya satu kali saja. Setiap Selasa pagi ke SMK Arief Rahman Hakim, siang baru ke SMP PGRI 6.

Lalu, berapa total upah yang Nia terima dengan mengajar di tiga sekolah itu?

“Tinggal kalikan saja total jam dengan tiga puluh ribu rupiah. Tiga sekolah, hasilnya mancik satu juta aja . Itu pun kalau tidak telat bayarannya,” tandasnyi lantas terkekeh. Selama pandemi dia sering telat mendapat gaji. Sebab, kata Nia, gajinyi di dua sekolah tingkat menengah atas itu tergantung pada ketepatan pembayaran SPP para siswa. Sedangkan, para siswa banyak yang telat membayar di masa pandemi. 

Bagi Nia, upah dari tiga sekolah tersebut tak bisa jadi pijakan biaya hidup. Dia menambah lagi pekerjaannyi. Yakni membuka jasa les privat Matematika. Bisa mendapat bayaran cukup lumayan dari situ. Bahkan melebihi yang didapat dari tiga sekolah itu.

Saat awal lulus kuliah pada 2015, Nia juga kerja dobel. Mengajar di SMP PGRI 6 dan menjadi karyawan perusahaan sekuriti sebagai seorang akuntan. Sebetulnya, dua pekerjaan itu sudah bisa memberikan penghidupan yang baik baginyi. 

Namun, dia memilih keluar dari perusahaan. Memilih untuk fokus memegang satu profesi: guru. Meski sudah memahami konsekuensi bahwa kesejahteraan sangat minim. Nia sudah sangat menikmati peran sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu. “Sudah lebih enjoy . Saya lebih seneng ketemu anak-anak daripada bekerja ketemunya sama komputer terus,” jelasnyi.

Ternyata, tidak hanya Nia yang mengajar di lebih dari satu sekolah. Ada beberapa guru di SMP 6 PGRI yang bernasib sepertinyi. Nyabang mengajar di berbagai tingkat sekolah. Mulai dari SD hingga SMA/SMK. Mereka juga mengajar dengan lintas latar belakang keilmuan. 

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKSS) Swasta Surabaya Banu Atmoko menunjukan surat dari Disnaker Pemkot Surabaya yang meminta para guru untuk medaftarkan BPJS Ketenagakerjaan kemarin (24/11).
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Sementara itu, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Swasta Surabaya Banu Atmoko membenarkan bahwa hal demikian memang dialami oleh guru honorer. Alasannya karena kesejahteraan masih terbatas. Terutama di Surabaya. Guru honorer tersebar di 260 sekolah swasta. 

Tags :
Kategori :

Terkait