UNDANG-UNDANG Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja belum bisa dilaksanakan. Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin memutuskan bahwa UU tersebut harus direvisi. Deadline untuk merevisi dua tahun. Bila tidak diperbarui, UU tersebut tidak bisa diberlakukan dan dianggap inkonstitusional.
MK menilai, UU yang dikenal dengan sebutan Omnibus Law itu tidak sesuai dengan UUD 1945. Ada dua hal menjadi acuan MK. Pertama, tidak memenuhi asas keterbukaan publik.
“Setiap pembahasan UU, harus dilakukan sosialisasi dan uji publik. Hakim melihat fakta lain bahwa proses itu tidak dilakukan,” ujar praktisi hukum Hamdan Zoelva saat dihubungi Harian Disway, Kamis (25/11).
Kedua, hakim mempertanyakan metode yang digunakan dalam UU sapujagad ini.
Hamdan Zoelva (Foto: Law-Justice)Dua pertimbangan itu, kata Hamdan, menjadi tolak ukur hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Intinya, pembuatan UU Cipta Kerja dinilai tidak memenuhi prosedur pembentukan yang benar. ”Sebenarnya, ini belum masuk dalam pokok materi atau isi dari UU tersebut,” kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Proses pembentukan UU diatur dalam UU nomor 15/2019. Dalam aturan itu, tidak ada ketentuan jangka waktu atau deadline uji public itu harus dilakukan. ”Kalau jangka waktu memang tidak diatur. Tapi, standar kepantasan harus dilakukan. Kemarin, masyarakat melakukan protes karena memang tidak pernah disosialisasikan terlebih dahulu. Masyarakat jadi kaget dengan lahirnya UU tersebut,” kata ketua umum Syarikat Islam (SI) itu.
Dampaknya, ketika uji publik itu dilakukan, ada protes lain terkait pasal dalam UU tersebut yang dinilai bermasalah. ”Kalau kemarin, protes hanya karena kehadiran UU itu. Karena tidak terbuka. Kelayakan pembentukan UU juga harus memperhatikan protes masyarakat,” katanya lagi.
Dengan diterimanya uji materiil UU Cipta Kerja yang diajukan serikat pekerja, peraturan pemerintah atau kebijakan strategis yang berkaitan dengan UU ini juga tidak bisa tidak dilaksanakan. ”Menurut saya, implementasi PP-nya juga harus ditunda terlebih dahulu. Menunggu revisi UU itu selesai dilakukan,” ungkap pemilik firma hukum Zoelva & Partners itu.
Hamdan juga menilai putusan MK ini rumit dalam implementasinya. Karena, tidak ada acuan bagi pemerintah selama UU Cipta Kerja direvisi. Satu-satunya jalan, presiden dan DPR dalam enam bulan ini harus menyelesaikan revisi itu. "Jangan tunggu dua tahun,” kata Hamdan.
Pendapat serupa diberikan oleh E. Prajwalita Widiati pengamat Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Airlangga Surabaya. Dalam kurun waktu dua tahun, akan ada banyak dinamika. Banyak kepentingan baru yang akan masuk selama proses revisi.
Widiati sepakat bahwa pembentukan UU Cipta Kerja sangat terburu-buru. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU itu sangat minim. Sangat susah menilai klasterisasi dalam UU Cipta Kerja itu.
“Susah sekali menangkap maksud dari UU itu,” bebernyi. Sehingga, implementasi dari UU itu juga akan sulit. Akhirnya, akan terjadi banyak pandangan dalam menjalankan UU itu. Kalau diperhatikan lebih detail, UU Cipta Kerja itu hanya rangkuman dari 70 UU. “Tidak ada perubahan signifikan,” ucapnya. (Michael Fredy Yacob)