Resolusi Jihad Gerakkan Perlawanan Muslimin

Minggu 05-12-2021,13:12 WIB
Editor : Doan Widhiandono

Tekad kuat untuk mempertahankan Surabaya bagi kaum ulama dan santri, datang dari resolusi jihad yang diserukan oleh KH Hasyim Asy’ari. Bangunan Markas Besar Oelama jadi saksi bisu perjuangan itu.

MENITI tiap sudut Markas Besar Oelama sama dengan menapaktilasi jejak perjuangan para ulama dan santri dalam perang besar 10 November. 

Kegigihan dan semangat tempur pejuang yang tanpa henti membuat tentara Inggris menyebut palagan Surabaya sebagai hell from Surabaya.

Jejak pertempuran itu terus saya cari di tiap sudut bangunan. Biasanya, seperti pembatas Jembatan Peneleh yang masih memiliki tiga lubang bekas lontaran peluru Inggris. Namun di Markas Besar Oelama, lubang bekas peluru tidak ada sama sekali.

“Lho, wong pelurunya Inggris itu tidak bisa menembus tempat ini. Berkat karomahnya Kiai Bisri dan Kiai Wahab,” ujar Ahmad Gojali, penunggu dan perawat bangunan tersebut.

Kiai Bisri Syansuri adalah yang dimaksud oleh Gojali. Ia adalah komandan barisan Sabilillah sekaligus kepala staf Markas Besar Oelama pada perang 10 November. Dalam bangunan tersebut, 76 tahun yang lalu, ia dan kakak iparnya, KH Wahab Hasbullah, membawahkan berbagai kelompok pejuang. Termasuk laskar Hizbullah beserta badan perjuangan lainnya.

Jejak kamar tidur kedua kiai tersebut masih ada dalam bangunan Markas Besar Oelama. Pada bagian tengah ruangan, terdapat dua kamar yang berada di sisi selatan. Kamar paling depan dengan pintu kayu yang telah rapuh itulah dulu digunakan sebagai ruang istirahat para kiai.

Kini, kondisinya dipenuhi dengan material-material bangunan milik Gojali. Jendela ruangan cukup besar dan masih asli. Namun karena usia dan kurangnya perawatan, suasana menjadi pengap dan lembap. Musim hujan membuat beberapa sudut dindingnya ditumbuhi lumut dan bercak cokelat rembesan air.

Kamar bagian belakang dipakai sebagai ruang istirahat para santri yang tergabung dalam barisan pejuang Islam. “Saya biasanya tidur di kamar santri itu,” ujar pria 52 tahun tersebut. Dalam kamar santri terdapat kasur milik Gojali, juga tentu beberapa material bangunan miliknya. Sebab, Gojali sehari-hari bekerja sebagai tukang serabutan.

Kisah Rumah Besar Oelama di Jalan Satria, Kedungrejo, Waru itu cukup panjang. Bangunan itu dijadikan markas berbagai badan perjuangan Islam setelah Surabaya hampir jatuh ke tangan Inggris dan sekutunya. Mobilisasi kaum Islam ke Surabaya terjadi setelah Kiai Hasyim menyerukan resolusi jihad.

Menurut Rijal Mummaziq, penulis buku Surabaya Kota Pahlawan Santri , resolusi jihad dikeluarkan pada 17 September 1945. Bunyinya antara lain, pertama, hukum memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan adalah fardlu 'ain bagi tiap-tiap orang Islam meskipun bagi orang fakir. Kedua, hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid. Ketiga, hukum orang yang memecah persatuan wajib dibunuh.

Berpijak pada fatwa itulah, para ulama se-Jawa dan Madura mengukuhkan resolusi jihad pada 21-22 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar NU di Bubutan, Surabaya. “Rapat tersebut dihadiri oleh para utusan konsul NU, termasuk panglima laskar Hizbullah, KH Zainul Arifin,” ungkapnya. Sedangkan KH Wahab ditunjuk sebagai pemimpin rapat. 

Ruang tempat istirahat para kiai yang kini berubah menjadi gudang.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Saat itu situasi Surabaya telah memanas. Terjadi insiden-insiden pelucutan senjata Jepang dan konfrontasi dengan Inggris. Rapat pengukuhan resolusi jihad tersebut ditutup dengan pidato KH Hasyim yang juga berada di sana, seperti tertulis dalam buku Berangkat dari Pesantren karya KH Saifuddin Zuhri:

Apakah ada di antara kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah. Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.

Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya. Maka barangsiapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang. Siapa pun orangnya.

Tags :
Kategori :

Terkait