Menanti Manisnya Gula

Selasa 14-12-2021,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Sebagai unit bisnis pemerintah, BUMN tak hanya berorientasi meraup untung. Tapi, juga menjalankan fungsi kepemerintahan. Tepatnya, menjalankan tugas pemerintah dengan pendekatan bisnis.

Ia bisa menjalankan penugasan pemerintah di bidang-bidang khusus. Seperti halnya BUMN karya yang menjalankan penugasan pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur.

Tapi, BUMN harus sehat untuk bisa menjalankan fungsi tersebut. Tidak mungkin ia bisa menjalankan fungsi menyehatkan harga gula ketika dirinya sakit. Karena itu, proses penyehatan perusahaan menjadi langkah penting.

Pemerintah telah melakukan penyehatan itu dengan melakukan holding-isasi. Puluhan PTPN telah digabung menjadi satu dengan PTPN III sebagai pengendalinya. Namun, upaya penyehatan baru bisa efektif dua tahun terakhir.

BUMN gula mulai melakukannya dengan restrukturisasi keuangan. Sebab, salah satu yang menjadikan BUMN gula meriang alias sakit ialah beban utang masa lalu yang membikin perusahaan itu infeksi berkelanjutan.

Utang yang tak terkendali, efektivitas investasi yang meragukan, dan tata kelola yang kurang optimal menjadi salah satu sebabnya. Karena itu, restrukturisasi tata kelola keuangan menjadi salah satu cara agar infeksinya tak merambah ke mana-mana.

Memang restrukturisasi keuangan holding BUMN perkebunan itu sempat membuat sejumlah anak perusahaan mengalami kesulitan cash flow. Tapi, proses itu penting juga untuk lebih gampang dalam mendiagnosis penyakit setiap PTPN gula.

Kemampuan keuangan pabrik gula yang cekak tersebut masih ditambah dengan tingginya beban biaya. Itulah yang menyebabkan daya saing produktivitas gula BUMN perkebunan kalah. Terutama menyangkut beban biaya untuk sumber daya manusia.

Tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah makin menambah harga pokok produksi tinggi. Pada ujungnya, industri gula BUMN kesulitan untuk memperoleh margin yang cukup. Bahkan, lebih banyak yang rugi berkelanjutan.

Persoalan lainnya adalah pasokan bahan baku tebu yang terus merosot. Nilai ekonomi lahan terus naik. Juga, teknologi pertanian yang memberikan pilihan lain bagi petani untuk beralih ke komoditas lain selain tebu. Sementara itu, pelaksanaan program agroforestry di lapangan belum optimal.

Belum lagi perebutan bahan baku dengan pabrik gula swasta, terutama di Jawa. Pabrik gula milik BUMN itu ibarat orang tua yang punya anak perempuan. Sekian lama merawatnya. Tapi, ketika besar diambil orang.

BUMN gula selama ini membina petani tebu, tapi ketika panen direbut pabrik swasta. Umumnya mereka mempunyai kemampuan cash flow yang tinggi karena mendapat jatah menggarap gula impor.

Semua itu hanya bisa diatasi dengan transformasi bisnis secara radikal. Tidak bisa setengah-setengah. Restrukturisasi keuangan harus diikuti dengan restrukturisasi organisasi dan penataan ulang SDM.

Pembentukan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) yang secara khusus menangani industri gula bisa menjadi momentum untuk itu. Dengan demikian, ada refocusing dari PTPN masing-masing terhadap bisnis utamanya.

Pembentukan single identity pabrik gula harus diikuti dengan keberanian memangkas pabrik gula yang tak efisien. Sepuluh tahun lalu saya mengunjungi sejumlah pabrik gula di Tiongkok. Saat itu mereka menutup pabrik berkapaitas di bawah 20 ribu ton per hari.

Di Indonesia –khususnya di bawah BUMN– masih banyak pabrik yang di bawah 30 ribu ton per hari tetap beroperasi. Bahkan, berebut bahan baku dengan saudara kandung sesama pabrik gula dan grup.

Tags :
Kategori :

Terkait