Berani menanggalkan status sebagai pegawai negeri demi hidup bebas sebagai seniman. Itulah jalan yang berani ditempuh oleh Mpu Harrys Poerwa. Ia konsisten dengan gaya naturalisme dan memiliki pasarnya sendiri.
RAMBUT panjang memutih, kaus berwarna hitam serta celana pendek dengan beberapa noktah cat. Itulah kekhasan Mpu Harrys. Sekilas jika dilihat dari kejauhan, tampangnya mirip budayawan Emha Ainun Nadjib. Lengkap dengan kumis putih pula.
Pada 3-12 Desember, ia dapat ditemui di JX International (Jatim Expo). Pada perhelatan Pasar Seni Lukis Indonesia. Dua stan sebelah pojok utara disewanya.
Stan Mpu Harrys cukup unik. Tersedia meja, kursi serta beberapa gelas air mineral. Malam itu ia sibuk melukis aktivitas pasar yang penuh pedagang bunga. “Menuangkan ingatan saya tentang pasar bunga di Semarang,” ujarnya.
Beberapa tahun lalu ia datang ke sebuah pasar bunga di Bandungan, Semarang. Keunikan warna-warni bunga hingga aktivitas perdagangannya sangat membekas dalam benaknya.
Mpu Harrys merupakan pelukis bergaya naturalisme. Karya-karyanya sebagian besar adalah hasil imajinasi serta upaya menuangkan memori tentang kesan-kesannya terhadap pemandangan alam di suatu daerah.
“Saya menghabiskan masa kecil di Mojokerto. Wong ndeso dari daerah Perning, Jetis, Mojokerto. Saya begitu dekat dengan alam,” ujarnya. Kedekatan itulah yang membuatnya tak bisa melepaskan diri dari genre naturalisme.
Di tengah ingar-bingar gaya seni rupa kontemporer, Mpu Harrys tetap konsisten dengan gaya melukisnya itu. Hal itu tak membuatnya tersisih atau merasa tertinggal. Sebab, dengan genre tersebut ia dapat memasuki alam masa kecilnya: pemandangan indah dengan petak-petak sawah, latar pegunungan, cikar yang ditarik sapi, pepohonan hijau serta padi menguning.
“Saya sudah sreg menekuni gaya naturalisme. Tak peduli apa kata orang. Saya malah makin konsisten karena sudah berhasil menciptakan pasar,” ungkapnya.
Mpu Harrys membuktikan bahwa peminat lukisan naturalisme masih sangat tinggi. Tiap bulan ia rutin mengirim karyanya pada galeri serta kolektor yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Mapan secara finansial serta ingin meraih kebebasan sebagai seorang seniman. Itulah yang membuat Mpu Harrys berani melepaskan status sebagai pegawai negeri.
Dulu, Mpu Harrys bekerja sebagai ASN di Dinas Kesehatan Mojokerto. Namun karena lebih sibuk melukis serta berkelana demi mendapat pengalaman estetik, pekerjaannya kerap ditinggal. Mulanya ia mengajukan resign, namun tak jua dikabulkan. “Saya enggak masuk kerja selama setahun. Tapi bayaran tetap saya terima waktu itu,” ujarnya. Kemudian tertawa.
Permohonannya untuk resign baru dikabulkan pada 2005. Saat itu Mpu Harrys mendapat kebebasan secara penuh sebagai seniman. Total melukis untuk menafkahi keluarganya. Upayanya berhasil hingga kini, meski sempat sedikit surut karena pandemi 2020 lalu.
Menapaki dunia seni lukis cukup menghabiskan waktu, tenaga dan keringat. Karena ketidakmampuan ekonomi, selepas SMP Mpu Harrys tak dapat melanjutkan ke bangku SMA. Namun ia berupaya untuk bisa sekolah.
“Demi bisa sekolah, saya pergi ke Jakarta untuk bekerja,” kenangnya. Ketika di ibu kota, ia bekerja sebagai tukang gosok pigura. Semua uang hasil jerih payahnya ditabung. Di sela waktu luang, ia membeli gitar dan harmonika, kemudian mengamen di berbagai tempat.
Karena bakat seni Mpu Harrys begitu menonjol, ia dipercaya untuk membuat mural di berbagai dinding pertokoan untuk mempromosikan produk dagangan, juga membuat beragam hiasan dinding.