Status Gunung Semeru naik menjadi siaga (level III). Tepat setelah terjadi luncuran awan panas guguran (APG) pada Kamis pagi. Hal itu diumumkan langsung via surat edaran Badan Geologi Kementerian ESDM, kemarin (17/12).
Luncuran APG pertama terjadi jam 09.30 pagi. Terekam seismograf Pos Pemantauan Gunung Api (PPGA) di Gunung Sawur. Dengan ukuran amplitudo 17 mm selama 395 detik. Meski secara visual tak teramati karena Semeru tertutup kabut.
Kemudian volumenya membesar pada jam 15.42 sore. Jarak luncurnya 4,5 km dari puncak Semeru. Dengan amplitudo 20 mm selama 400 detik. Dalam tiga hari terakhir, jumlah gempa guguran meningkat. “Rata-rata sebanyak 15-37 kejadian per hari,” ungkap Kepala Badan Geologi Eko Budi Lelono dalam keterangan tulisnya.
Menurutnya, aktivitas APG masih berpotensi terjadi. Karena adanya endapan aliran lava sepanjang 2 kilometer dari pusat erupsi. Aliran itu masih belum stabil. Bahkan berpotensi longsor terutama di bagian ujungnya.
Potensi aliran lahar juga masih sangat kuat. Mengingat curah hujan begitu tinggi di Semeru. Diperkirakan bakal terjadi di sepanjang aliran sungai. Terutama jika luncuran APG kontak dengan air sungai.
“Peningkatan status terkait gempa-gempa yang terjadi akhir-akhir ini,” kata Dewan Pakar Kompartemen Kebencanaan ITS Ginanjar Yoni Wardoyo, kemarin. Terutama gempa yang terjadi di daerah sekitar seperti di Malang Selatan, Jember, dan NTB. Juga termasuk erupsi Gunung Merapi.
Erupsi yang terjadi kali terakhir itu menandakan bahwa sistem evakuasi kecolongan lagi. Early Warning System (EWS) yang tersedia nyaris tidak berguna. Jarak antara bunyi EWS dan waktu evakuasi sangat mepet. Sebab, luncuran APG berkecepatan tinggi.
“Tadi malam raker. Badan Vulkanologi dapat sorotan keras,” kata Ginanjar. Sebab, alat yang ada tidak bisa memprediksi luncuran APG. Itulah kenapa saat erupsi 4 Desember lalu banyak dusun yang tertelan abu hanya dalam waktu singkat. Ratusan warga pun menjadi korban karena tidak sempat meloloskan diri dari kejaran APG.
“Kemiringan Semeru lebih dari 45 derajat,” katanya. Maka EWS secanggih apapun akan kalah dengan cepatnya luncuran APG. Tim Kompartemen Kebencanaan ITS sedang menjalin kerjasama dengan Badan Kebumian di Singapura.
Yakni untuk mendatangkan alat pendeteksi yang lebih detail. Alat itu bisa membedakan antara gemuruh magma dan jatuhnya material. Sehingga bisa memprediksi tingkat bahaya dari luncuran APG. “Saat ini sedang dalam tahap korespondensi,” ucap Ginanjar.
Menurutnya, banyak yang mengartikan erupsi Semeru sebagai letusan. Pengertian tersebut keliru. Sebab, letusan gunung api selalu didahului dengan peristiwa-peristiwa vulkanologi. Yakni intensitas gempa yang tinggi sebelum terjadi letusan.Misalnya, per hari bisa terjadi gempa hingga 50 kali.
Pemahaman tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat yang tinggal di lereng gunung. Agar kewaspadaan mereka tinggi. Dan proses evakuasi ketika terjadi erupsi pun bisa dilakukan dengan cepat.
Selain itu, Ginanjar juga menyoroti banjir lahar yang terjadi pagi kemarin. Yang menerjang Dusun Kamar Kajang dan Dusun Curah Kobokan. Banjir lahar tersebut disebabkan oleh beberapa hal.
Yang paling fatal adalah terjadinya pendangkalan aliran lahar oleh para penambang pasir. Baik penambang individu maupun industri. Selama ini, para penambang tidak tertib saat melakukan penggalian. Mereka cenderung menambang di bagian pinggir sungai. Sehingga mengakibatkan munculnya gundukan di tengah sungai.
Itu sangat berbahaya. Bagian pinggir sungai yang terkeruk justru bakal menjadi aliran lahar yang baru. Apalagi karakter besok sungai berkelok-kelok. Begitu lahar turun akan melalui jalur pinggiran itu dan menjebol tanggul. Lalu meluber ke pemukiman.