Gus Dur mengenal Gus Yahya sebelum bertemu langsung. Karena sering mendapat cerita dari Gus Mus –panggilan akrab KH A. Mustofa Bisri– tentang keponakannya itu. Gus Yahya bertemu kali pertama dengan Gus Dur pada 1987, saat ia masih jadi mahasiswa UGM.
Selain belajar agama di Pondok Pesantren Krapyak, Gus Yahya adalah mahasiswa jurusan sosiologi UGM. Sebelumnya ia menjadi siswa SMAN Teladan Yogyakarta. Itulah SMA yang dikenal berisi anak-anak pintar di Kota Gudeg itu.
Keresahannya tentang berbagai hal sudah muncul sejak mahasiswa. Tentang ketidakadilan politik, tentang masa depan Islam, bahkan tentang NU yang kini ia telah menjadi salah seorang tokohnya. Keresahan-keresahan itulah yang menyeret ia menjadi aktivis kampus.
Gus Yahya muda adalah mahasiswa yang pintar. Penguasaan ilmu dan teori-teori sosial yang digelutinya di kampus kuat. Bahkan, seperti juga pamannya, ia merambah bacaan ke berbagai referensi sastra. Ia adalah tokoh sejak mahasiswa.
Sayang, ia tidak mau menyelesaikan kuliahnya secara formal. Tak mau menggarap tugas akhirnya. Bukan karena tidak bisa. Tapi tidak mau. Merasa tidak ada gunanya menyelesaikan kesarjanaan secara tuntas.
Ia begitu patuh kepada orang tuanya yang menjadi pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin, Rembang. Ia pun kembali ke kampung setelah sempat belajar di Makkah beberapa tahun. Gus Yahya sepenuhnya menggantikan posisi ayahnya setelah wafat.
Pergulatannya tentang NU sejak muda itulah yang kemudian ia tuangkan dalam buku yang ia tulis sendiri. Judulnya, PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama. Itulah buku yang ditulis berdasar hasil perenungannya bertahun-tahun tentang NU.
Dalam buku itu, ia meyakini NU didirikan para pendirinya bukan untuk membangun firqah baru dalam Islam. Ia didirikan sebagai ladang baru untuk merespons keruntuhan peradaban Islam yang hidup selama 1.300 tahun dengan puncaknya kekhalifahan Utsmaniyah.
”Kenapa dinamakan NU? Padahal, sebelumnya sudah berdiri Nahdlatul Tujjar dan Nahdlatul Wathon. Ini karena para muasis (pendiri) membayangkan NU untuk membangun peradaban baru. Dan yang harus membangun peradaban itu dalam Islam ya ulama,” kata Gus Yahya yakin.
Baginya, untuk bisa mewujudkan cita-cita para pendiri itu, NU harus kuat secara jamiyah. Artinya, keberadaan organisasi NU harus bermakna bagi warganya. Jangan sampai warga NU hanya terikat secara kultural, tapi juga secara organisasi.
Karena keanggotaan NU bersifat terbuka, ia membayangkan NU sebagai jamiyah harus berfungsi seperti negara. Mampu melayani kebutuhan warganya untuk bersama dalam gerbong membangun peradaban baru yang sekarang masih sedang dalam pembentukan.
Rasanya belum pernah pemimpin NU yang berpikir sejauh itu selain para pendiri dan Gus Dur. Gus Yahya menjadi harapan banyak orang yang menginginkan peradaban dunia yang lebih baik. Rasanya juga menjadi harapan sebagian besar warga NU.
Hanya mereka yang merasa terancam kehilangan terhadap sumber daya di peradaban yang bermasalah ini yang tak menghendakinya. Yang sekadar membayangkan peran ecek-ecek NU. Bukan menjadi pembawa gerbong, tapi sekadar taksi tumpangan.
Muktamar NU di Lampung akan menjadi tonggak peran NU ke depan: Tetap menjadi taksi tumpangan atau pembawa gerbong umat. Menjadi ladang persemaian hadirnya peradaban baru atau bagian dari peradaban yang telah runtuh sekarang ini? (*)