Aparat begitu serius menangani kasus itu. Mungkin, karena tingkat kejahatan yang dilakukan Herry dianggap luar biasa. Mencemarkan profesi ustad.
Herry memanfaatkan posisinya sebagai guru agama. Memerkosa belasan santriwati. Berlangsung lima tahun berturut-turut. Sampai melahirkan 11 bayi. Bahkan, bayi-bayi itu masih dimanfaatkan pula untuk mencari sumbangan anak yatim.
Pakar pemerkosa anak, Prof Dr Sherry Hamby, yang guru besar riset psikologi The University of the South, Sewanee, Tennessee, Amerika Serikat, menjelaskan di jurnal ilmiah kampusnya:
"Pemerkosa memang menikmati kendali penuh terhadap korban. Itu kenikmatan pertama mereka. Kenikmatan kedua: seks."
Ditegaskan: "Pemerkosaan atau kekerasan seksual bukan tentang kepuasan seksual atau minat seksual. Melainkan, lebih tentang mendominasi orang."
Terbukti, santriwati korban Herry menirukan ucapan Herry saat akan memerkosa: "Kamu harus turuti perintah guru." Maka, santriwati usia 13 sampai 15 tahun itu pun menurut, diperkosa.
Hamby membagi tiga tipe pemerkosa.
1) Oportunistik. Jenis itu memanfaatkan setiap kesempatan di saat menguasai orang. Tentunya, terhadap orang yang lebih lemah daripada pemerkosa. Begitu ada kesempatan, ia beraksi.
2) Sadis. Motif pemerkosa tipe itu adalah merendahkan, mempermalukan korban. Misalnya, pemerkosaan massal. Atau terhadap korban yang sangat dibenci pemerkosa.
3) Dendam. Tipe itu punya rasa sakit hati di masa lalu, yang mengendap, dalam jiwa. Misalnya, pemerkosa pernah disakiti perempuan, ditolak, atau dianiaya. Rasa dendam ia lampiaskan di pemerkosaan.
Herry Wirawan belum diungkap tuntas. Siapa ia. Pers hanya menyebutkan, ia lahir di Garut, 19 Mei 1985. Pendidikan: Universitas Islam Nusantara Jurusan Manajemen PAI. Profesi: Tenaga pendidik. Status menikah dengan tiga anak.
Belum diungkap, bagaimana masa lalu Herry. Pengungkapan itu berguna sebagai bahan pelajaran penting. Agar jangan sampai muncul orang seperti Herry.
Dalam kasus tersebut, mungkin Herry masuk tipe nomor satu: Oportunistik. Dan, karena ia punya kuasa terhadap banyak santriwati, kesempatan itu ia dimanfaatkan maksimal.
Dari situ bisa dijadikan bahan pelajaran bagi para pendidik. Yakni, pendidik harus dikontrol. Kasus Herry terjadi pasti karena tanpa kontrol. (*)