Andreas Nurmandala pernah terpuruk. Pernah menjadi narapidana. Tetapi, ia tak ragu bangkit. Kini, ia dikenal sebagai pendamping para mantan narapidana. Lewat kiprah Andreas, nyala semangat di batin mantan penghuni penjara tertap berkobar.
NAMA Andreas Nurmandala masih dikenal oleh warga Jalan Cakalang, Kota Malang. Padahal, ia sudah tidak lagi tinggal di tempat itu. Sudah pindah dari rumah kontrakan yang dijadikan rumah singgah eks napi tersebut. Sekira tiga tahun lalu.
Adalah Henry Christiano, mantan anak binaan Andreas yang tinggal tak jauh dari Jalan Cakalang, yang mengetahui alamat baru Andreas.
Namun, Henry hanya menyebut Jalan M.T. Haryono X. Tak ada nomor rumah. Jaraknya cukup jauh dari Jalan Cakalang yang terletak di sisi utara kota tersebut. Jalan M.T. Haryono terletak agak ke tengah-barat. Dekat dengan kampus Universitas Brawijaya.
’’Tanya saja orang sekitar. Semua pasti tahu rumah Papi,’’ ucap Henry. Ya, anak-anak binaan Andreas selalu menyebutnya sebagai Papi. Sebab, bagi mereka, Andreas bak sosok ayah. Kehadirannya memberikan rasa aman dan nyaman. Juga kekuatan.
Benar juga, orang-orang di Jalan M.T. Haryono, atau orang-orang Kota Malang menyebutnya kawasan Betek, langsung menunjuk rumah Andreas.
Di tempat paling ujung gang sempit itulah Andreas tinggal. Rumahnya di dekat sungai. Di situ, ia tinggal bersama dua anaknya. Juga anak binaannya. Yang kadang main ke rumah tersebut atau sekadar numpang makan. Tak jauh dari situ, ada rumah binaan mantan napi yang dikelola Andreas.
Anak Andreas ada empat. Dua lainnya sudah pada merantau. Ada yang di Jakarta. Ada juga yang di Sidoarjo.
Kini, hidup Andreas memang bersahaja. Tetapi, dulu ia tumbuh di keluarga yang berkecukupan. Orang tuanya, Yohanes dan Hiuwarni, punya toko kelontong di Lampung. Masa kecilnya juga menyenangkan. ’’Ya doyan bermain,’’ ucapnya.
Hingga kelas 3 SD, Andreas bersekolah di Chung Hwa Sie Siauw. Orang-orang Lampung menyebutnya sebagai Sekolah Cino.
Pendidikan Andreas terhenti saat huru-hara politik pada 1965. Apa pun yang berbau Tionghoa dilarang. ’’Tiga tahun saya tidak bersekolah,’’ tutur pria 64 tahun itu. Di usia yang masih kanak-kanak, Andreas bekerja di toko kelontong milik keluarga. Maklum, ia adalah anak pertama dari empat bersaudara.
Selama itu, Andreas belajar lewat guru les yang dipanggil orang tuanya. Tiga tahun kemudian, barulah Andreas meneruskan pendidikannya di SMP Xaverius Lampung. Di pengujung sekolah itu, pendidikannya kembali mandek. Tepatnya pada 1972. Problem besar menimpa keluarganya. Bisnis toko kelontong milik keluarga itu bangkrut.
Mau tak mau, dalam usia masih 15 tahun, Andreas kembali bekerja. Ia jadi karyawan salah satu toko sepatu. “Pemilik toko itu sebenarnya masih keluarga dengan saya,” ungkapnya.
Dua tahun ia bekerja di situ. Kemudian, Andreas memilih berhenti dan membangun usaha kecil. Modalnya tentu dari orang tuanya. Andreas berjualan jagung, telur, dan kopi. “Kalau jagung dan telur itu, saya hanya jual di Lampung. Saya jualnya pakai mobil orang tua saya,” tambahnya.
Andreas Nurmandala merampungkan berkas-berkas BPJS Kesehatan milik anak binaannya.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)
Semenjak itu, Andreas tak pernah berpikir sekolah lagi. Yang diinginkan hanya menyekolahkan semua adiknya. Andreas tak ingin nasib tiga saudaranya sama dengannya.
Keinginan itu tercapai. “Hanya saya yang tamatan SD. Sisanya, paling rendah SMA. Ada juga yang sudah lulus kuliah. Sekarang-semua adik saya ada yang tinggal di Jakarta. Ada juga yang bekerja di Lampung,” katanya.