Shin Tae-yong dan Polosin

Kamis 30-12-2021,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Harian Disway - SATU hal yang harus diancungi jempol dari tim Merah Putih yang kini sedang bejuang di Piala AFF adalah: fisiknya.

Lihat saat mereka melawan Singapura di pertandingan semifinal kedua. Mampu bermain konsisten 120 menit. Lepas dari kartu merah yang diterima tiga pemain lawan (satu di penghujung permainan), Asnawi Mangkualam dan kawan kawan bermain dengan fisik prima.

Mereka terus bergerak. Mampu mencetak gol pada menit akhir. Juga, mampu menggagalkan penalti di menit-menit akhir waktu normal.

Anatoli Polosin, pelatih legendaris asal Rusia, memberikan ciri-ciri bila pemain kehabisan bensin. Fisik anjlok membuat pemain kalah lari dan kalah duel memperebutkan bola. Selain itu, kehilangan konsentrasi.

Pemain pun, kata Polosin, akan sering salah passing. Umpan makin tak akurat. Apa yang diinginkan otak tak sesuai dengan arah tendangan. Itu akan kian fatal bila terjadi adu penalti.

Polosin yang sukses menangani timnas Indonesia meraih emas SEA Games 1991 di Manila sadar pentingnya fisik. Kemampuan teknis pemain di kawasan Asia Tenggara, begitu penilaiannya,  beda-beda tipis. Siapa yang unggul fisik, itulah yang menang.

Timnas yang kini dilatih Shin Tae-yong punya kesamaan dengan era Polosin. Memiliki fisik yang baik.

Dua pelatih itu sama-sama punya filosofi: fisik yang paling utama. Itulah sebabnya, mereka menentukan line-up  selalu berdasarkan siapa yang benar-benar bugar. Bukan siapa yang populer.

Mereka berdua memang berasal dari negara yang dikenal sangat mengandalkan fisik. Polosin asal Rusia yang memiliki fisik kuat di antara negara Eropa lain yang berteknik tinggi. Karakter timnas Korsel juga begitu.

STY –begitu media sering menyebut Shin Tae-yong– juga mengajak Lee Jae-hong yang khusus menangani fisik. Lee bukan pelatih kaleng-kaleng. Ia ikut menangani kebugaran tim Korsel di Piala Dunia 2018 di Rusia.

Dari evaluasi mereka, fisik pemain Indonesia hanya sanggup bermain satu babak. Sedangkan kecepatan, sudah oke, sudah mendekati kemampuan pemain di negaranya.

 Kalau bicara power, body balance (keseimbangan), dan edurance (daya tahan), pemain Indonesia jauh anjlok bila dibandingkan dengan rata-rata pemain di Korsel. Sering kalah duel. Mudah kehilangan bola.

Ya, intinya, kesimpulan saat awal mereka mulai melatih timnas adalah menangani fisik. Targetnya,  meningkatkan kemampuan pemain yang hanya stabil di 45 menit, bisa tetap sangar 90 menit atau 120 menit.  

Keduanya pun langsung memprioritaskan pelatihan fisik. Menerapkan nenu latihan fisik berat.

Menu makanan pun dikontrol. Makanan karbohidrat pemain dikurangi. Diperbanyak mengonsumsi protein dan sayur-sayuran.

Tags :
Kategori :

Terkait