Kampus Masih Gagap Kekerasan Seksual

Sabtu 08-01-2022,04:00 WIB
Editor : Noor Arief Prasetyo

KEKERASAN seksual (KS) belakangan ramai dibahas kalangan perguruan tinggi. Terutama sejak munculnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No 30 Tahun 2021. Isinya mengatur kekerasan seksual.

Kemarin Lembaga Pers Mahasiswa Acta Surya Stikosa-AWS menggelar seminar bertajuk Diancam, Dibungkam lalu Memilih Diam. Diskusi itu membahas pelecehan dan kekerasan seksual di kampus.

Dosen Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Karolin Rista menjelaskan, korban kekerasan memerlukan pendampingan. Ada banyak macam pendampingan. Bisa advokasi, bahkan hal yang terkecil adalah mendengarkan curhat para korban.

Karolin minta agar para pendamping tidak menyalahkan korban. Sebab, hal itu bisa merusak mental korban. ”Misal saja orang putus cinta. Curhat ke teman. Terus dibilang move on dong. Nah, kata-kata seperti itu bisa merusak mental,” ujarnya.

Baginyi, tidak semua korban merupakan orang yang tidak berdaya. Sebagian berani speak up. Namun, sering menjadi korban dari tindakan selanjutnya. Korban itu biasanya tidak tahu jalur yang harus ditempuh. Akibatnya, kerap berakhir dengan makin menderita.

Lalu, bagaimana dengan fenomena kekerasan seksual di kampus? Karolin menjelaskan, di kampus tempatnya mengajar ada lembaga konseling untuk menangani keluhan peserta didik. Dia mengeklaim pernah menangani kasus hampir serupa dengan fitnah kekerasan seksual.

Pada saat itu ada mahasiswa yang lama tidak masuk kelas. Untag mencari mahasiswa itu, bahkan sampai ke RT atau RW. Rupanya mahasiswa tersebut dituduh menghamili seorang wanita.

Padahal, menurut dosen pengajar, mahasiswa itu merupakan anak yang kalem. Tidak berani melakukan tindakan asusila. ”Ternyata benar. Rupanya mahasiswa itu korban fitnah,” ungkap Kabaghumas Untag itu.

Sayang, tidak semua kampus memiliki lembaga seperti itu. Banyak universitas yang abai terhadap permasalahan kekerasan seksual. Terbukti, ketika permendikbudristek mengatur regulasi mengenai kekerasan seksual, kampus menjadi gagap.

Alhasil, produk hukum itu sering dinilai kurang tepat. Bahkan, tidak sedikit yang menuduh permendikbudristek itu sebagai pelegalan perzinaan di kampus.

Pada 2020 Kemendikbud merilis survei kekerasan seksual di kampus. Sebanyak 77 persen dosen di Indonesia mengatakan, kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Sebanyak 63 persen di antaranya tidak dilaporkan karena khawatir terhadap stigma negatif.

Pada tahun yang sama, data Komisi Nasional Perempuan menunjukkan, 27 persen aduan kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus.

Kemarin dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) Titik Suharti juga menjadi narasumber pada seminar itu. Menurutnyi, permendikbudristek membuka mata seluruh kampus. Baginyi, aturan itu bisa membuat kampus lebih percaya diri dalam mengawal kasus kekerasan seksual. Tanpa takut namanya tercemar.

Bahkan, ada kewajiban untuk mengawal kasus kekerasan seksual di kampus. Jika tidak, akreditasi kampus menjadi hukumannya. Sayang, permendikbudristek hanya memberikan sanksi perdata. Sedangkan hukum pidana untuk pelaku tidak dijelaskan. Sebab, tidak sedikit dari pelaku merupakan orang dari lingkup kampus itu sendiri. Misalnya, dosen, mahasiswa, bahkan pimpinan kampus.

”Tapi, permendikbud itu merupakan langkah awal agar kampus melek terhadap kekerasan seksual. Harapannya, kasus seperti itu bisa dicegah dan tidak ditutupi lagi,” ujarnya. (Andre Bakhtiar)

Tags :
Kategori :

Terkait