AKHIR-AKHIR ini muncul banyak penawaran simpanan dan deposito yang menarik dari bank. Bunga yang ditawarkan cukup menggiurkan. Jauh lebih tinggi daripada yang ditawarkan bank pada umumnya. Hanya, bank-bank yang menawarkan itu belum terlalu dikenal. Ada Bank Jenius, Bank Wokee, Digibank, Bank Jago, hingga Bank Aladin Syariah.
Bank-bank itu memang masih relatif baru. Mulai bermunculan pada 2016, kini bank semacam itu terus bermunculan. Itulah bank digital. Dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada tujuh bank digital yang beroperasi dan tujuh lainnya sedang dalam proses.
Kemajuan teknologi memang telah mengubah model bisnis banyak industri. Tak terkecuali di industri keuangan seperti perbankan. Tak cukup dengan perubahan layanan perbankan dengan teknologi, tapi teknologi itu memunculkan entitas bank baru. Bank digital.
Bank digital tersebut adalah institusi baru. Bukan bank konvensional yang memberikan layanan online atau layanan digital. Tapi, memang jenis bank yang memang berbeda. Yaitu, bank yang seluruh fungsinya dilakukan dengan teknologi digital. Mulai menghimpun dana dari surplus unit, menyalurkannya kepada deficit unit, hingga layanan jasa keuangan seperti jasa transfer, jasa pembayaran, dan jasa keuangan lainnya.
Dengan pemanfaatan teknologi, lazimnya bank digital tidak memerlukan kantor layanan. Semua layanan dilakukan melalui teknologi yang bisa diakses dari smartphone atau personal computer. Itu sangat berbeda dengan layanan online dari bank konvensional yang masih membutuhkan kantor-kantor layanan atau cabang untuk melayani nasabah. Bank digital juga berbeda dengan fintech pinjaman online (pinjol) meski sama-sama memberikan kredit secara online.
Meski semuanya menggunakan teknologi, operasional bank digital sama dengan bank konvensional. Semua fungsi bank juga dijalankan bank digital. Contohnya, menerima simpanan nasabah. Maka, bank digital juga menawarkan tabungan dan deposito. Namun, semua dilakukan secara online. Pembukaan rekening pun dilakukan secara online.
Bank digital juga melayani kredit atau pembiayaan kepada nasabah. Semuanya dilakukan secara online. Pengajuan kredit, penilaian kelayakan, hingga perjanjian kredit dilakukan secara online. Dalam konteks itu, bank digital beroperasi layaknya fintech (financial technology) dalam memberikan kredit. Bank digital juga memberikan layanan keuangan seperti jasa transfer, jasa pembayaran, dan sebagainya secara online.
Meski relatif baru, aset bank digital sudah cukup besar. Ratusan triliun. Yang terbesar adalah Jenius milik Bank BTPN. Asetnya mencapai Rp 183,17 triliun. Di bawahnya ada TMRW (Bank UOB) yang memiliki aset Rp 116,55 triliun, Digibank (DBS Bank) Rp 87 triliun dan Wokee Rp 79,94 triliun.
Dengan penggunaan teknologi yang canggih, semestinya bank digital akan jauh lebih efisien. Sebab, mereka tidak memerlukan banyak karyawan, gedung, dan berbagai sarana untuk mendukung layanan bank. Semuanya bisa diotomatisasi dengan teknologi digital yang lebih praktis.
Meski begitu, melihat berbagai penawaran dari bank-bank digital tersebut, ternyata layanannya tidak lebih murah jika dibandingkan dengan bank konvensional. Meski tak setinggi pinjol, bunga kreditnya cukup tinggi. Jika kredit perbankan konvensional saat ini hanya sekitar 8 persen per tahun, bank-bank digital mengutip bunga kredit double digit. Pada Bank Neo Commerce, misalnya, bunga kredit korporasi mencapai 13,27 persen dan kredit ritel 13,77 persen. Bahkan, kredit consumer non-KPR di atas 14 persen.
Mungkin, mahalnya bunga kredit itu juga disebabkan cost of fund bank digital cukup tinggi. Mereka menawarkan bunga deposito yang jauh di atas suku bunga penjaminan. Jika deposito pada bank konvensional rata-rata hanya 3,5 persen per tahun, bank digital menawarkan bunga hingga 7 persen. Bank Neo Commerce, misalnya, menawarkan bunga deposito tenor satu tahun hingga 8 persen.
Saat ini tingkat bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan ( LPS) untuk bank umum hanya 3,5 persen. Sementara itu, untuk BPR, angkanya berada di 6 persen.
Dengan bunga deposito yang mencapai 8 persen, bisa dipastikan bahwa simpanan atau deposito di bank digital tersebut tidak dijamin oleh LPS. Itu, tentunya, harus dipahami masyarakat. Bahwa deposito pada bank digital cukup berisiko karena tidak dijamin LPS.
Karena bank digital adalah bank yang menjalankan fungsi perbankan, semestinya OJK juga ikut mengatur bank digital sebagaimana bank konvensional. Sebab, jika tidak, masyarakat bisa dirugikan jika sewaktu-waktu bank digital mengalami kebangkrutan karena ketidakmampuan membayar kewajibannya.
Bahkan, seharusnya OJK mengatur dan mengawasi bank digital secara lebih ketat daripada bank konvensional. Sebab, dengan kecanggihan teknologi, risiko operasional bank digital justru sangat tinggi. Fraud dan kejahatan keuangan menggunakan teknologi telah terjadi pada berbagai layanan online atau digital pada bank konvensional yang juga bisa terjadi pada bank digital. (*)