KAWASAN industri dan pergudangan di pantai utara Surabaya makin menjamur. Mulai Osowilangun, Margomulyo, sampai Kalianak. Sayang, pertumbuhan itu tidak diimbangi dengan pengembangan infrastruktur jalan.
Titik kemacetan terparah ada di Jembatan Branjangan. Penghubung Kecamatan Benowo dan Krembangan. Jembatan yang sempat retak itu sudah dibangun ulang pada 2013. Setelah dibangun, macetnya malah tambah parah.
Jembatan tidak bertambah lebar dan makin menanjak. Truk kontainer harus berjalan perlahan ketika memasuki jembatan. Sering ada truk mogok di area penyempitan jalan itu. Kalau sudah begitu, akses penghubung Pelabuhan Teluk Lamong, Tanjung Perak, hingga Pelabuhan Gresik bisa mati total.
”Setiap hari pasti macet. Apalagi, banyak penambahan depo kontainer tak berizin,” keluh Ketua DPC Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Putra Lingga Tan kemarin. Kawasan yang dulu kosong kini sudah beralih jadi banyak depo kontainer.
Lingga melihat lokasi depo perlu ditata. Begitu juga akses menuju ke sana. Ia juga mendapati ada pemilik depo yang tidak memenuhi persyaratan teknis. Yakni, memiliki peralatan reach stacker, top loader, side loader, forklift, dan fasilitas perbaikan peti kemas.
Problem itu membuat akses keluar masuk depo sering bermasalah. Kemacetan panjang tidak bisa dihindari nyaris setiap hari. Kondisi itu makin parah karena kawasan pantura sering tergenang. Tinggi jalan tersebut nyaris sama dengan muka air laut saat pasang.
Jika sudah tergenang, surutnya bisa berhari-hari. Saluran air di sepanjang pantura Surabaya itu juga sering mampet. Sedangkan pompa banjir Pemkot Surabaya yang ada di Greges juga beberapa kali rusak karena terlilit sampah.
Tambal ban truk ikut menambah kemacetan. Sebab, mereka menggunakan daerah milik jalan (damija) saat proses ganti ban.
Ada 8 ribu truk yang beroperasi di Surabaya. Ada konsekuensi bagi pengusaha truk bila telat mengirim barang. Mulai pemotongan biaya dari pelanggan sampai penalti dari pelabuhan. Besarnya bisa mencapai Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.
Dari semua permasalahan itu, problem utama ada di penyempitan jalan. Lingga berharap agar pemerintah segera mewujudkan janjinya yang sudah 10 tahun tidak terealisasi. ”Pemerintah sebenarnya mampu. Tapi, uangnya dikorupsi oknum,” ungkapnya.
Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Jatim Achmad Subki mengatakan, rencana pelebaran Jembatan Branjangan sudah dimulai pada 2012. Namun, saat itu pihaknya cuma mampu membangun ulang jembatan yang rusak tanpa pelebaran. ”Masalahnya ada di pembebasan tanah,” kata Subki kemarin.
BBPJN hanya menganggarkan pembebasan tanah dengan harga Rp 5 juta per meter persegi. Namun, warga menganggap harga itu terlalu murah. Ada yang meminta Rp 15 juta hingga Rp 25 juta.
Jika ditotal, kebutuhan anggaran untuk pembebasan lahan mencapai Rp 700 miliar. Ia berharap agar Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim mau membantu pembebasan tersebut. Jika sudah beres, pekerjaan fisiknya bisa dikebut dalam empat bulan. ”Paling Rp 400 miliar sudah jadi,” lanjutnya.
Solusi pengurai kemacetan itu ternyata membutuhkan anggaran Rp 1,1 triliun. Nilainya setara dengan total penghasilan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Surabaya dalam setahun. Pemkot tentu sulit mengeluarkan anggaran untuk pembebasan itu.
Fokus pemkot kini berada pada pembebasan tanah Jalan Lingkar Luar Barat (JLLB) sisi Sememi. Prosesnya menggantung sejak 2018 karena masalah ketersediaan anggaran.