Sekolah Ramah Anak Jangan Hanya Slogan

Senin 31-01-2022,04:00 WIB
Editor : Noor Arief Prasetyo

DI Jawa Timur, Surabaya menempati posisi paling banyak dalam kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2021. Kasus pertama di tahun ini pun mulai mencuat dari SMPN 49 Surabaya. Siswa berinisial R dikeplak guru mata pelajaran olahraga. Itu menjadi viral.

Kejadian tersebut berlangsung di ruang kelas 8G pada Selasa (25/1). Kini kondisi R masih dalam masa pemulihan. Anak kembar tersebut mengalami trauma. ”Sejak kejadian itu, sampai sekarang anak saya tidak enak makan,” kata Ali Muhjayin, ayah R.

R masih dalam pendampingan pemulihan psikis. Baik dari kepolisian maupun Dinas Pendidikan Surabaya. Ali cuma bisa berharap kasus tersebut dituntaskan dengan baik. Agar tak ada lagi kasus serupa menimpa anak-anak lain.

Sebab, ia beranggapan bahwa kejadian yang menimpa anaknya itu ibarat puncak gunung es. Artinya, masih sangat memungkinkan banyak kejadian serupa yang dialami anak-anak sekolah. Namun, belum terekspos publik.

Karena itu, Ali sudah memaafkan tindakan oknum guru olahraga tersebut. Bahkan, sang guru sampai mendatangi langsung ke rumahnya pada Rabu (26/1). Sayang, Ali tak bisa ketemu karena sedang bekerja. Keliling berjualan sayur.

Namun, Ali tetap membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Ia juga mendapat dukungan dari para wali murid lainnya. Saat ini kasus masih dalam proses penanganan Polrestabes Surabaya.

Pelaporan itu dimaksudkan sebagai bentuk ultimatum. Terutama bagi guru-guru yang suka ringan tangan kepada para siswa. ”Biar ada sanksinya. Otomatis guru-guru yang temperamen akan berpikir ulang kalau hendak berbuat kekerasan lagi,” ucapnya.

Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim M. Isa Ansori menganggap hal yang sama. Kejadian yang menimpa R itu hanya contoh kecil. Artinya, mungkin masih banyak kasus serupa di sekolah lain yang belum mencuat ke publik.

Kasus kekerasan terhadap anak di sekolah memang tinggi. Itu menunjukkan bahwa sekolah tidak bisa menjamin keamanan para siswa. Baik fisik maupun psikis. Tidak banyak sekolah yang mampu melayani anak-anak tanpa kekerasan.

”Itulah persoalan sekolah kita,” tegasnya.

Banyak guru yang tidak tahu cara menghadapi keragaman siswa. Akhirnya cenderung mengedepankan emosi. Itu juga bukti bahwa program sekolah ramah anak hanya slogan. Sebab, implementasinya justru berbanding terbalik.

”Harusnya program itu bisa merumuskan pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak,” terangnya. Misalnya, dengan mengadakan pendampingan khusus yang mengacu pada PP No 57 Tahun 2021. Seperti halnya yang dilakukan LPA Jatim terhadap 40 SMA/SMK/MA.

Sejauh ini, pendampingan tersebut tidak ada di tingkat SD-SMP. Padahal, pendampingan itu juga menyangkut SOP mengatasi masalah kekerasan. Pencegahan itu juga melibatkan semuanya. Mulai guru, wali murid, hingga siswa sendiri. (Mohamad Nur Khotib)

Tags :
Kategori :

Terkait