Seni barongsai pernah dilarang di masa Orde Baru. Setelah reformasi, para seniman bebas tampil di setiap perayaan Imlek, Cap Go Meh, hingga perayaan besar lainnya. Mantan Presiden Gus Dur punya peran besar sehingga budaya Tionghoa melebur dengan tradisi Indonesia.
–
Kelompok Barongsai Liong Budi Luhur bersiap di belakang panggung Lippo Plaza, Sidoarjo, kemarin (1/2). Inilah penampilan perdana mereka selama pandemi. Pada perayaan Imlek sebelumnya, kelenteng, vihara, hingga pusat perbelanjaan dilarang menampilkan kesenian barongsai dengan alasan pandemi.
Firmansah Ari Yanto dan kawan-kawannya mulai memakai kostum singa. Begitu musik dimulai, mereka langsung naik ke atas panggung. Suara tambur dan ceng-ceng simbal langsung mengundang pengunjung mal.
Dua barongsai berwarna kuning dan biru melenggak lenggok mengikuti irama. Firman yang jadi kepala singa melompat sehingga barongsai berdiri di atas dua kaki. Tepuk tangan pengunjung pun menyeruak.
Mereka cuma tampil 15 menit. Pihak mal tidak ingin mengumpulkan kerumunan terlalu banyak. Setelah selesai tampil di panggung, barongsai keliling ke tenant yang ada di lantai dasar dan dua.
Setiap pemilik tenant sudah menempelkan angpao di atas pintu masuknya. Ada yang memasang satu angpao ada juga yang memasang tiga sekaligus.
Barongsai harus berdiri di atas dua kaki untuk menjangkau angpao itu. Setelah amplop merah itu terambil, barongsai menunduk sebanyak tiga kali ke pemilik atau penjaga toko.
Setelah tampil di lantai dasar, Firman istirahat. Posisinya digantikan pemain lainnya. Namun ia tetap ikut berkeliling dengan posisi sebagai pemain tambur.
FIRMANSAH Ari Yanto, satu-satunya pemain Barongsai berdarah Tionghoa di Liong Budi Luhur. (Foto: Boy Slamet-Disway)Firman adalah satu-satunya keturunan Tionghoa yang ikut tampil siang itu. Mayoritas timnya adalah orang Jawa. ”Ada beberapa yang dari Madura,” kata pemuda 22 tahun itu.
Ia berdarah campuran. Tionghoa-Jawa. Yang murni berasal dari Tiongkok adalah kakeknya. Firman cuma ingat nama Indonesia kakeknya: Munawar. Sedangkan nama Tionghoanya lupa. Yang diingat hanya nama panggilannya. ”Pokoknya orang memanggil kakek saya Pak Jong,” lanjut alumnus SMKN 7 Surabaya itu.
Firman sudah menggeluti kesenian Barongsai sejak masih SD. Ia konsisten main barongsai untuk mempertahankan tradisi leluhurnya.
Mencari pemain barongsai dari etnis Tionghoa memang sulit. Itu tidak hanya terjadi di Surabaya. Indonesian Street Lion yang merantau dari Jakarta ke Surabaya juga didominasi orang Betawi dan Sunda.
Di satu sisi, barongsai memang sudah membumi. Semua etnis bebas memainkannya. Di sisi lain, kesenian yang sudah ada sejak Dinasti Chin (abad ketiga sebelum masehi) itu perlu penerus asli Tionghoa. Agar batang tidak tercabut dari akarnya. (Salman Muhiddin)