”Hewan-hewan pengganggu itu tak lagi memakan hasil tanaman. Melainkan sesaji. Tanamannya aman. Begitu jika dilogikakan,” ujarnya.
Saat ribuan dupa dinyalakan, asap pun mengepul, membubung ke atas memenuhi seluruh area. Gus Hisa Al-Ayubi, ketua penyelenggara, sekaligus pimpinan PPIQ Darul Hidayah, Malang, itu dalam orasi budaya menyatakan bahwa sebagai orang Indonesia, wajiblah nguri-uri (melestarikan, Red) budaya leluhur.
Hadir pula ketua Komunitas Indigo dan Telepati Surabaya (KITS) Ki Bagus Mpu Batu dan sejarawan Malang, Dwi Cahyono. Selesai berdoa, semua yang hadir melanjutkannya dengan cengkerama. Saling bertukar wawasan soal kebudayaan. Terutama makna dupa dan sesaji.
Dwi menerangkan bahwa kegiatan tersebut adalah bentuk penghormatan terhadap budaya leluhur dalam sebuah bangsa yang majemuk. Sesaji atau sajen sebenarnya berasal dari kata dasar saji yang mendapat akhiran an. ”Dalam konteks religi, sesaji merupakan sesuatu yang dipersembahkan oleh pelaku upacara keagamaan kepada llahi,” tambahnya.
Dalam konteks provan, merujuk pada sesuatu yang disajikan terhadap manusia lain, misalnya tamu. Dalam bahasa Jawa Baru, istilah yang sama dengan kata sajen adalah kata suguh dan caos.
Istilah suguh acap digunakan untuk menyebut kegiatan dalam bentuk memberikan sesuatu (sesajen) kepada Dewata, roh leluhur yang dipuja, kekuatan alam atau untuk mahluk halus lainnya. ”Begitu pula kata caos atau memberi. Lazimnya dipakai dalam konteks pemberian sesaji,” bebernya.
Pada dasarnya, di dalam proses religi terdapat exchange atau pertukaran yaitu manusia (pelaku upacara) memberikan sesajian kepada Yang Dipuja. Sebaliknya, Ilahi berganti memberi berkah kepada pemuja.
”Ada proses take and give dalam upacara ritual. Bersaji melatih orang untuk tidak pelit dan tahu balas budi atas pertolongan pihak lain,” tambah dosen sejarah Universitas Negeri Malang itu.
Dwi juga menjelaskan tentang tumpeng yang ada dalam acara. Salah satunya tumpeng agung yang disajikan sebagai sesaji yang bersifat publik. ”Jadi khalayak harus menikmatinya beramai-ramai sebagai bagian dari ritus,” ungkapnya.
Ada pula sesaji yang berukuran lebih kecil. Isinya tak hanya makanan. Melainkan bunga dan wewangian seperti kemenyan, dupa, hio, minyak wangi, benang lawe, atau lainnya. Ada pula berisi jimpitan, bagian potongan makanan berukuran kecil yang ditempatkan dalam takir.
Sebenarnya, lanjut Dwi, tak sedikit agama atau keyakinan yang mensyaratkan ada sesajian atau pengorbanan dalam proses ritualnya. Namun cara manusia menjalani interaksinya dengan llahi bisa berlainan.
Maka tidak diperkenankan penganut keyakinan tertentu melarang atau memaksakan kehendaknya. Apalagi dengan cara menistakan piranti ritus kepercayaan lain seperti yang terjadidilakukan tersangka penendang sesaji di Lumajang.
Indonesia sebagai negeri beradab dan majemuk, perbedaan berkeyakinan dan sebagainya merupakan hal yang tak terelakkan. ”Acara 1000 Sajen dan Dupa diharapkan bisa membuka wawasan siapa saja untuk memaknainya,” katanya.
Maka pemahaman tentang perbedaan sangatlah penting. ”Mari saling bertoleransi dan hidup rukun sebagaimana yang ada dalam sesanti negeri kita Bhineka Tunggal Ika,” harap sejarawan berusia 55 tahun itu. (Guruh Dimas)