Peralihan generasi sehu (dalang) dari Tok Su Kwie kepada Tok Hong Kie, anak bungsunya, tidak berjalan mulus. Pewarisan ilmu dan kreativitasnya tidak bisa secara langsung. Tok Su Kwie tidak sempat mewariskan seluruh pengetahuannya kepada Tok Hong Kie. Dalang asli Fujian, Tiongkok, tersebut mangkat saat putranya masih sangat kecil.
BUAH tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Meski si pohon telah tumbang, benih yang bagus akan tetap meneruskan kehidupan.
Itu terjadi pada Tok Hong Kie. Lahir pada 1937, Tok Hong Kie sempat menikmati masa kejayaan sang ayah sebagai sehu wayang potehi. Yang harus diingat, kejayaan seorang dalang wayang potehi tidak berarti kejayaan dari segi materi. Sebab, mendalang adalah membaktikan diri kepada para dewa melalui sajian seni di kelenteng.
Dan hingga kini, para dalang wayang potehi selalu hidup dengan bersahaja. Namun, bisa jadi, upah mereka besar di surga…
Meninggal dunia di usia muda, saat anak bungsunya masih kecil, Tok Su Kwie tidak sempat mengajari sang anak untuk mendalang. Yang ia tinggalkan adalah lingkungan yang mendukung bakat Tok Hong Kie. Seperangkat alat wayang potehi bisa dimainkan Tok Hong Kie di Kelenteng Hong San Kiong, Gudo. Sekelompok seniman berbakat juga siap menggembleng anak muda itu sejak dini.
’’Jadi, papa saya itu ya belajar dari teman-temannya kakek saya. Lingkungan di kelenteng kan memang mendukung untuk itu,’’ ujar Toni saat menunggu penampilan kelompok Fu He An di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jombang, 26 Januari lalu.
Salah satu sehu yang mengajari Tok Hong Kie adalah Pek Liu Kie, kawan sang ayah yang juga merantau dari Fujian. Dan sungguh, bakat Tok Hong Kie sudah terlihat sejak masih kanak-kanak. Ia bisa memainkan boneka potehi sambil berdiri. Tubuhnya masih terlalu kecil untuk main sambil duduk sebagaimana sehu lainnya. Dan saat remaja, Tok Hong Kie sudah menjadi dji dju atau asisten dalang. Ia kerap main mendampingi Pek Liu Kie, sang lao shi (guru).
Dari situlah jalan panjang Tok Hong Kie sebagai seorang sehu mulai dirintis. Ia mulai aktif berkesenian saat usianya masih sangat muda.
Sebagai seorang dalang yang aktif tampil—bahkan sampai berbulan-bulan di sebuah kelenteng—Tok Hong Kie mendapat jodoh saat berumur 25 tahun. Gadis yang dipersuntingnya adalah Koo Trien Nio. Mereka lantas menikah pada 1962. Ketika itu, Koo Trien Nio masih berumur 14 tahun.
PASANGAN MUDA, Tok Hong Kie dan Koo Trien Nio yang hidup bersahaja.(Foto: Toni Harsono untuk Harian Disway)
Anak pertama lahir pada 1965. Ketika itu, Koo Trien Nio masih berumur 17 tahun. Anak pertama itu adalah Tok Eng Siauw (Tutik Sundari). Pasangan ini lalu dikaruniai dua anak lagi. Yakni Tok Hok Lay (Toni Harsono) yang lahir pada 1969 dan Tok Hok Gwan yang lahir pada 1971.
Sebagaimana Tok Su Kwie, Tok Hong Kie pun hidup sangat bersahaja. Penghasilan sebagai seorang dalang bukanlah penghasilan yang bisa dijadikan gantungan hidup satu-satunya. Tetapi, ia tetap teguh dalam jalan seninya.
Koo Trien Nio pun terus setia mendampingi suami ke mana saja. Bahkan ketika Tok Hong Kie harus tampil mendalang di mana pun. Meskipun berbulan-bulan. ’’Main di kelenteng itu memang bisa berbulan-bulan,’’ ujar Toni.
Buku Toni Harsono; Maecenas Potehi dari Gudo mengisahkan itu. Pada suatu hari, Tok Hong Kie mendalang di Rogojampi, Banyuwangi. Seusai mendalang, tas sang istri diambil orang. Beruntung, uang honor itu disimpan oleh Koo Trien Nio di dalam bungkusan koran. Uang honor itu pun selamat. Tak terambil.
Di akhir 1960-an, mulai muncul pelarangan terhadap kesenian berbau Tionghoa. Nasib Tok Hong Kie pun terpengaruh. Perizinan wayang potehi diperketat. Mereka mulai jarang tampil. Hanya Kelenteng Gudo yang masih setia mementaskan wayang potehi sebagai bagian dari ritual keagamaan.
Ekonomi keluarga pun terimbas. Keluarga dalang itu pun hidup serba kekurangan. Bahkan, keluarga itu pernah tinggal di sebuah bekas kandang ayam berukuran tak sampai 4 meter persegi. Mereka tinggal di situ salama sekitar dua tahun berkat belas kasihan tetangga mereka.
Karena itu, Tok Hong Kie pun sempat melarang Toni Harsono untuk mendalang. ’’Nanti hidupnya seperti boneka wayang itu. Kalau main kelihatan gagah, bisa tarung, bisa jadi raja. Tapi, selesai main ya diklimprekkan (ditaruh begitu saja, Red) seperti kain usang,’’ ujar Toni.