PLTS Atap Masih Sepi Peminat

Senin 14-02-2022,04:00 WIB
Editor : Redaksi DBL Indonesia

KONSUMEN Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap nasional mencapai 4.133 pelanggan akhir tahun lalu. Listrik yang dihasilkan setara 36,74 Megawatts-peak (MWp). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan United Nations Development Program (UNDP) Indonesia meluncurkan hibah Sustainable Energy Fund (SEF) untuk menggaet peminat.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, insentif adalah bagian dari inovasi pembiayaan. Ia berharap ada lebih banyak masyarakat yang berinvestasi solar panel di rumah atau kantor.  ”Diharapkan harganya bisa lebih ekonomis," ujar Arifin dalam rilisnya.

Insentif pemasangan PLTS Atap mencapai Rp 23.678.000.000. Belum banyak yang mengajukan keringanan tersebut. Dalam isurya.mtre3.id hanya 14 pelanggan yang mengajukan insentif. Rinciannya, 10 pelanggan rumah tangga dan 4 pelanggan bisnis.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim sudah pakai PLTS Atap di Jakarta. Ia pasang 3,2 kWp. Dengan solar panel 20 meter persegi. “Rata-rata sebulan saya ekspor listrik ke PLN Rp 500 ribu lah. Lumayan menghemat,” katanya kemarin (13/2).

Herman adalah pakar listriknya DEN. Ia lulus Sarjana Teknik Tenaga Listrik di Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1978, lalu lanjut S2 Power System Analysis di Manchester University pada 1987. S3 Ketenagalistrikannya di ITB lagi pada 2004. Pernah mengabdi juga di PLN sebagai direktur Transmisi dan Distribusi PT PLN Persero (2003-2008).

Menurutnya, PLTS Atap harus terus dikembangkan. Indonesia kalah jauh dengan Vietnam. Hingga Oktober 2021 mereka telah memasang 16,420 MW pembangkit listrik tenaga surya. Terdiri dari 7.755 MW rooftop solar power dan 8.637 MW concentrated solar power (CSP).

CSP masih mahal. Tiga kali lebih mahal daripada solar panel. Metodenya adalah memantulkan sinar matahari dari ribuan cermin ke tangki air. Uap air bertekanan tinggi itulah yang akan menggerakkan turbin. Karena itulah belum banyak yang memanfaatkan.

Sepanjang 2019-2020 Vietnam sudah memasang 100 ribu solar panel rooftop. Indonesia masih 4 ribu. Herman mengatakan, potensi energi matahari di Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa tentu begitu besar. Bahkan seharusnya bisa mengalahkan Vietnam.

Lalu mengapa penambahan PLTS Atap masih sangat minim? Selama ini pemilik solar panel cuma bisa mengekspor listriknya sebesar 65 persen ke PLN. Ada potongan 35 persen yang membuat orang harus mikir dua kali untuk memasang panel surya. Kalau dihitung-hitung pay back investasinya baru kembali setelah 20 tahun.  ”Rupanya pemerintah sudah mengubah aturannya baru-baru ini. Jadi kami yang punya panel surya bisa ekspor 100 persen,” ujar teknokrat kelahiran 15 April 1954 itu.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU). Baru keluar akhir tahun lalu dan berlaku tahun ini.

WARGA membersihkan solarpanel di atap Rusunawa Penjaringasari, Surabaya. (FotoL Julian Romadhon-Harian Disway)

Menurutnya, peminat PLTS Atap juga harus dipancing dengan penurunan ongkos investasi. Herman mengeluarkan biaya Rp 40 juta untuk memasang panel surya di rumahnya. ”Yang pasang kalangan tertentu saja kalau ongkosnya segitu,” lanjutnya.

Anggota DEN Satya Widya Yudha juga punya panel surya di rumahnya. Per bulan ia juga menghemat Rp 500 ribu. ”Setara 20 persen dari tagihan listrik,” kata alumnus Teknik Kelautan ITS itu.

Ia melihat kendala utama PLTS Atap ada di sosialisasi. Banyak lapisan masyarakat yang belum paham potensi energi ramah lingkungan itu. Padahal dengan sistem ekspor listrik tersebut keuntungan yang didapat lumayan mengurangi tagihan listrik. ”Karena kalau PLTS atap yang mandiri harus pasang baterai yang masih sangat mahal,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI (2018-2019) itu.

Kendala kedua adalah kemauan keras dari PLN. Tentu energi surya bakal berdampak pada PLTU dengan bahan bakar batu bara yang lebih murah. Namun, Presiden Joko Widodo sudah berkomitmen untuk mendukung pemakaian energi ramah lingkungan di KTT perubahan iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia tahun lalu. (Salman Muhiddin)

Tags :
Kategori :

Terkait