Karena itu, Toni pun getol memburu para perajin yang disebut-sebut mahir membuat wayang potehi. Dan ternyata, tidak semua perajin itu sesuai dengan karep atau keinginan Toni. ’’Ada yang bentuknya ndak cocok, menurut saya. Ada yang mirip Pinokio,’’ ucap Toni.
Di tangan para perajin di Gudo itulah Toni mempercayakan pelestarian wayang potehi. Dan sekali lagi, Toni tidak benar-benar meminta para perajin itu untuk ikut sebagai pelestari wayang potehi. Motivasi yang diberikannya adalah faktor ekonomi. Dan itu cukup efektif. Sangat cespleng.
’’Saya beri reward ke mereka. Saya beli karya-karyanya. Ya ada yang Rp 60 ribu. Ada yang sampai Rp 250 ribu. Tergantung tingkat kesulitan,’’ kata Toni.
Itu diakui Budiono. ’’Semua boneka ini pasti dibeli Pak Toni. Pasti. Semuanya,’’ ujarnya.
Maka, Budiono pun mengaku mendapatkan pendapatan besar dalam kreasinya itu. Dalam satu bulan, Budiono bisa menghasilkan uang Rp 5 juta dari Toni. Cukup besar untuk orang yang tinggal di Gudo, sebuah kecamatan kecil di Jombang, yang sudah mepet dengan Kediri. Nominal itu lebih besar daripada upah minimum regional (UMR) di Surabaya—tertinggi di Jatim—yaitu Rp 4,3 juta. (Doan Widhiandono)
Edisi sebelumnya: Asap Dapur Mengepul dari Kepala Kecil