Harga Kedelai Naik, Ukuran Tempe Diperkecil

Selasa 22-02-2022,04:00 WIB
Editor : Noor Arief Prasetyo

SURANI Ningsih harus melepas slang gas dari tabung LPG 3 kilogram miliknyi. Kini kompor yang digunakan untuk membuat tempe itu berhenti beroperasi. Harga kedelai naik. Dari Rp 9.500 menjadi Rp 11.500 per kilogram.

Karena berhenti membuat tempe, warga Desa Sedenganmijen, Krian, Sidoarjo, itu harus meliburkan karyawannyi untuk sementara waktu. Setidaknya, sampai aksi mogok berakhir. Aksi itu adalah bentuk protes karena kenaikan harga bahan baku utama pembuatan tempe tersebut.

”Biasanya saya memproduksi per hari 5 kuintal,” kata Surani yang sudah 30 tahun membuat tempe itu kepada Harian Disway Senin (21/2).

Sementara itu, ketua paguyuban perajin tempe di Desa Sedenganmijen, Kecamatan Krian, Mukromin mengatakan, semua perajin tempe memutuskan libur dulu. Paguyuban itu memiliki 26 anggota. Dulu mencapai 60 orang.

Mereka demo tidak memproduksi tempe selama tiga hari. Demo itu dilakukan karena harga kedelai naik. ”Idealnya harga kedelai itu di bawah Rp 10 ribu. Kalau sekarang, kami sebenarnya tidak dapat untung sama sekali,” katanya.

Namun, ia sudah mengantisipasi jika harga kedelai tetap tidak turun. Yaitu, mengurangi ukuran tempe. Misalnya, untuk tempe yang harganya Rp 1.500. Sebelum harga kedelai naik, panjangnya 15 sentimeter dan lebar 5 sentimeter.

Potongan itu akan diperkecil. Tapi, hanya memotong lebar. Itu juga cuma 1 sentimeter. ”Walau cuma 1 cm, itu sangat berharga. Minimal menutupi biaya produksi. Itu juga, kita untungnya hanya sedikit. Lebih sedikit daripada sebelumnya,” ucapnya.

Mereka tidak mau menaikkan harga tempe. Khawatir tengkulak akan ngamuk. ”Kalau kita naikkan, mereka (tengkulak) mau jual berapa lagi ke masyarakat. Jadi, kita memperkecil potongannya. Tidak menaikkan harganya,” tambahnya.

Kondisi yang sama terjadi di Surabaya. Perajin tempe di kota itu juga mogok produksi gara-gara kenaikan harga kedelai. Aksi itu mereka tuangkan dalam surat edaran pengurus paguyuban perajin tempe dengan nomor surat 01/PPT/JATIM/II/2022 kepada perajin tempe se-Surabaya.

Salah seorang perajin tempe di kampung tempe Surabaya, Ghofur R., juga melakukan mogok produksi. Selain sebagai bentuk protes, mogok tersebut dilakukan karena ia tak mau ambil risiko.

”Perajin tempe se-Surabaya mogok. Karena kalau masih ada yang jualan, nanti ada yang obrak-abrik. Kalau masih ada tempe di pasar atau yang jual di pasaran, tempe akan dihancurkan sama paguyuban,” tutur Ghofur.

Warga Kota Pahlawan mengeluh akibat tidak ada tempe di pasaran. Salah satunya Nanik Setyowati. Tiga hari terakhir tempe sangat susah dicari di pasar. Kalaupun ada, setiap orang dijatah. Hanya boleh membeli maksimal Rp 5 ribu.

”Paling parah sih hari ini. Sudah tiga tempat saya cari, semuanya kosong. Dari pagi tadi saya nyari tempe, tidak ada yang jual,” katanyi.

Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Perdagangan Kota Surabaya Fauzie Mustaqiem Yos mengetahui rencana mogok produksi oleh perajin tempe se-Surabaya. Ia tak bisa menampik adanya kenaikan harga kedelai di masyarakat.

”Kedelai itu kita impor 90 persen. Kalau posisinya seperti itu, kita tidak bisa ngapa-ngapain. Mungkin dari ketersediaan, distribusi atau pengangkutan kita tidak tahu, karena ketersediaan kedelai dalam negeri tidak cukup,” bebernya. (Michael Fredy Yacob)

Tags :
Kategori :

Terkait