PANDEMI Covid-19 seperti tak ada habis-habisnya. Varian-varian baru terus bermunculan. Baru saja varian Omicron masuk ke Indonesia, kini anaknya diumumkan muncul. Kementerian Kesehatan baru saja merilis 252 kasus varian Son of Omicron.
Varian BA.2 itu cukup unik. Bisa lolos dari teknik deteksi spike gen target failure (SGTF) yang biasanya dipakai untuk mendeteksi kasus probable Omicron. Cara kerja teknik SGTF itu untuk mengetahui spike gen dari virus ada yang terlepas atau tidak.
Jika ada spike gen yang terlepas, sangat mungkin itu varian Omicron biasa (BA.1). ”Pada varian BA.2, susunan spike tidak terdeteksi hilang. Padahal, varian itu termasuk varian Omicron,” kata Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito saat konferensi pers virtual kemarin (3/3).
Dengan demikian, varian Son of Omicron tidak bisa terdeteksi dengan teknik seperti itu. Varian tersebut terbaca seperti varian lain apabila memakai teknik SGTF. ”Tapi, sekarang kita sudah bisa mendeteksinya dengan WGS. Ada sekitar 252 kasus,” kata Sekretaris Ditjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Wiweko saat dihubungi kemarin.
Menurut Nadia, varian Son of Omicron tersebut lebih cepat menular. Namun, hingga kini baru sedikit yang terdeteksi. Sekitar 90 persen didominasi Omicron BA.1 yang mencapai 6.580 kasus.
Pola persentase itu tak hanya di Indonesia. Tetapi, juga negara-negara lain di dunia. ”Jadi, sebetulnya sudah cukup lama terdeteksi. Diambil dari berbagai sampel kasus. Tidak ada rincian untuk lokasinya,” ujarnyi.
Sementara itu, epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo menyebutkan, sekitar 25 persen dari kasus Omicron merupakan varian Son of Omicron. Sedangkan, kini 95 persen dari total kasus di Indonesia didominasi Omicron BA.1. Sisanya varian lain seperti Alfa dan Delta.
”Sebetulnya Januari lalu sudah terdeteksi,” kata pria kelahiran Malang itu. Hanya, belum terbukti secara epidemiologis. Artinya, belum ada kasus-kasus yang tingkat bahayanya melebihi varian yang sudah ada. Gejala yang ditimbulkan juga tak berbeda signifikan.
Windhu juga membenarkan bahwa Son of Omicron lebih mirip seperti Delta saat dideteksi dengan SGTF. Spike gen Omicron BA.1 umumnya diliputi 69–70 asam amino. Namun, itu tidak ada pada struktur Son of Omicron. Dengan demikian, teknik SGTF sulit membacanya.
”Bisa diskrining oleh WGS saja. Tapi biayanya kan mahal,” ungkapnya. Pada dasarnya, pendeteksian Son of Omicron itu tidak terlalu penting. Apalagi jika urusannya dalam penanganan pandemi Covid-19 secara umum. Deteksi varian baru hanya penting untuk surveilans.
Ia pun minta masyarakat agar tidak panik. Tidak perlu khawatir dan bingung dengan kemunculan varian-varian baru. Sebab, sejauh ini sudah ada ribuan mutasi Covid-19. Itu akan terus terjadi sepanjang penularan Covid-19 tak berhenti.
Yang penting, tetap disiplin pada protokol kesehatan (prokes). Toh, sekarang aktivitas masyarakat sudah dilonggarkan. Namun, jangan sampai meniru sikap masyarakat di negara-negara lain. Khususnya di Eropa dan Amerika Serikat yang sudah mulai melepas prokes.
”Itu terlalu berani. Kita tidak boleh meniru. Harus tetap konservatif saja,” tegasnya. Penerapan skrining aplikasi PeduliLindungi harus tetap dipantau. Terutama di area-area publik dan tempat ibadah. Itu salah satu faktor penting untuk mencegah penularan sehingga mutasi virus pun bisa dimatikan.
Windhu juga mengaitkan dengan kesiapan protokol menuju endemi. Bahwa kemunculan varian Son of Omicron tidak bisa dijadikan acuan. Protokol endemi boleh saja disiapkan secara strategis.
Namun, ia menilai itu belum tepat waktunya diterapkan di Indonesia. Sebab, jumlah kasus Covid-19 masih tinggi. Meskipun, tren kasusnya menurun. Pertimbangan menuju endemi harus berbasis epidemiologis. Bukan berdasar politis.