Landasan konstitusional mengatasi sebaran Korona ini menjadikan orang-orang berpaling kepada panutannya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan seperti ditulis Ram Charan.
Pemimpin bermandat menjaga masyarakat melalui transformasi kebijakan dengan tetap konsisten menaati aturan prokes. Tatanan sosial yang terekam memang mendeskripsikan ruang yang tidak selalu linier, bahkan dalam bahasa Friedrich Nietzsche (1844-1900) di karyanya, Also Sprach Zarathustra, penuh lompatan, termasuk seitensprange, boleh melompat ke samping.
Dengan kasus Omicron, pemimpin harus terjaga. Dalam batas ini, keterjagaan pemimpin adalah opsi tunggalnya. Bukankah rakyat memilih pemimpin itu untuk mengendalikan (sturen) pergerakan hidupnya agar dia tidak gagal sebagai rakyat, apalagi gagal menentukan tindakan menyelamatkan diri dari Omicron.
Berbagai program mengatasi Covid-19 melalui ”Corona Protocol” merupakan kontribusi negara hukum karena secara yuridis kebijakan itu diberi ”baju hukum”: surat edaran atau keputusan presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, camat, lurah, kepala desa, rektor, termasuk kepala sekolah.
Dalam lingkup ini saya memaknai bahwa Covid-19 ternyata mampu menciptakan figur hukum baru. Para pemimpin dari tingkat dunia sampai di Nusantara menetapkan panduan teknis-operasional mengatasi Covid-19.
Seruan yang diambil WHO guna mengatasi Omicron merupakan tindakan hukum. Pada telisik inilah dirajut ”jahitan hukum” mengatasi Covid-19 dalam ”semburat nilai” Coronavirus Juridicus (yang mendorong pendidikan tinggi hukum semakin inovatif-solutif).
Bumi Berterima Kasih
Khusus pada lingkup ekologis, saya menyaksikan bahwa kahanan sekarang ini sejatinya menguntungkan bumi. Manusia melangkah menepikan awak dan mengendapkan pikiran tentang keganasan sebuah virus yang tidak elok apabila ditantang penuh pongah.
Manusia yang berkewarasan memilih berikhtiar meminggirkan jiwa-raganya dengan sejenak rehat di rumah. Jalanan, kantor, pergudangan, mal-mal ”disenyapkan” sejenak sehingga memberikan ruang langit menampakkan keasliaannya: membiru dalam damai.
Debu tidak bertebaran, emisi tidak menggelayut, cerobong asap tidak lagi membubung mengangkasa, limbah cair tidak digerojok ke sungai maupun tanah. Ulah manusia diberhentikan oleh virus, karena penegakan hukum atas kejahatan lingkungan selama ini tdak mempan dilakukan.
Hal ini berarti pandemi memberikan solusi ekologis meski menghasilkan akibat yang lebih kompleks lagi. Inilah saat dimana bumi pada posisi tidak dinodai oleh keputusan brutal yang tega mengotorinya.
Cobalah penguasa mengerti bahwa tugasnya masih belum maksimal dalam mengatasi ”safarinya sang virus”. Eling lan waspodo serta tidak salah bertindak seperti peribahasa Madura ”mella’e pettengnga bingong e’leggana”. Menatap di kegelapan, bingung di keluasan. Ungkapan yang menggambarkan ruwetnya pertimbangan nalar menghadapi pesakitan Omicron yang ngeyelan.
Semua ada waktunya seperti ejaan fabel bagus Mitch Albom, The Time Keeper (2012), Sang Penjaga Waktu. Akhirnya renungkanlah hukum ke-47 dari buku The 48 Laws of Power karya Robert Greene (2007): jangan melebihi sasaran yang telah Anda tentukan.
Pandemi adalah ”siklus” tanda jeda agar kita berkesempatan untuk mengerti hakikat masa depan. Secara ekologis, bumi memiliki kesempatan leyeh-leyeh memproduksi oksigen, udara, dan air yang segar kala ”pertunjukan” dipentaskan berkelanjutan. (*)
Penulis: Suparto Wijoyo, Akademisi Hukum Lingkungan, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga