’’Maka, jangan sampai kita takut memberi. Jangan takut kehilangan segala-galanya saat memberi,’’ tutur Widodo Santoso, yang menyuarakan tokoh Cin Hin di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jombang, 26 Januari.
’’Kalau bagi saya, salah satu inti pertunjukan wayang itu yang pesan-pesan di dalamnya. Harus sampai ke penonton,’’ kata dalang kelahiran Blitar, 23 Oktober 1972 tersebut.
Lakon perebutan harta warisan yang dipentaskan Widodo Santoso di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jombang, 26 Januari.(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)
Bagi Widodo, pesan dalam kisah-kisah sederhana akan mengena bagi penonton umum seperti pada pertunjukan mereka siang itu. ’’Ini yang menonton kan anak-anak sekolah. Jadi ya ambil cerita sederhana. Pesannya sederhana. Ada moralnya. Ada matematika. Lak yo ngono ?’’ kata Widodo.
Meski bisa dengan mudah mengarang cerita rekaan, Widodo juga sangat paham pada cerita-cerita yang lazim dipentaskan wayang potehi. ’’Kalau main untuk kelenteng, ya beda. Ceritanya harus sesuai buku. Karena ini kan persembahan untuk dewa. Untuk leluhur,’’ kata Widodo.
Kisah-kisah klasik yang sering dipentaskan adalah cerita kepahlawanan Sie Jin Kwie (Xue Rengui). Baik dalam kisah Sie Jin Kwie Ceng Tang (Berperang ke Timur). Atau Sie Jin Kwie Ceng Se (Berperang ke Barat). ’’Yang ke timur itu, ada penyerangan ke negara Ko Le Kok. Sekarang ya Korea itu,’’ tutur Widodo.
Dalam pentas untuk kelenteng, satu cerita dipentaskan utuh mulai awal sampai akhir. ’’Kalau tiap hari main 4 jam, satu bulan baru selesai ceritanya,’’ kata Widodo. (Doan Widhiandono)
Edisi sebelumnya: Telanjur, Masak Ditinggal?