Pemerintah menerbitkan dua kebijakan sejak terjadinya kelangkaan minyak goreng. Yaitu Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Setiap eksporter migor wajib mendistribusikan 20 persen dari total ekspor ke dalam negeri.
Kementerian Perdagangan menyebut bahwa kebijakan itu mengakibatkan goncangan pasar. Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) meroket. Mencapai rekor tertingginya yakni nyaris tembus Rp 20 juta per ton.
“Itu berdasarkan tinjauan CPO dalam tiga minggu terakhir,” ungkap Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saat membuka raker nasional Kemendag, kemarin (10/3). Misalnya, saat DMO naik 30 persen, harga CPO ikut di-suspend dua kali lipat di stock exchange. Dengan begitu, Indonesia bisa mendikte dunia.
Menurutnya, Indonesia punya kekuatan besar dalam mengatur komoditas unggulan di pasar internasional. Sudah terbukti punya peran penting dalam pasar CPO. Tidak hanya sebagai produsen, tetapi juga eksporter.
“Sepanjang periode 2020 sampai 2021, Indonesia menjadi produsen CPO terbesar di dunia,” lanjut Lutfi. Yakni berkontribusi sebesar 58 persen dari total produksi CPO di dunia. Baru kemudian menyusul Malaysia yang berkontribusi 26 persen. Artinya, dua negara bertetangga itu menyumbang 84 persen.
Begitu juga dengan ekspor. Dua negara tersebut punya andil besar. Indonesia memimpin eksporter CPO dunia dengan jumlah yang sama besar mencapai 56 persen. Sedangkan Malaysia berkontribusi sebesar 34 persen.
Lutfi berharap Indonesia juga mampu memegang kendali di komoditas lain. Termasuk barang yang bernilai tambah. “Misalnya nikel di masa mendatang. Mudah-mudahan diikuti bauksit, copper berbagai bahan turunan yang penting di masa depan,” ungkapnya.
Namun, misi itu bak jauh panggang dari api. Mengingat saat ini produsen migor terdampak krisis sawit. Tercatat sebanyak 6 produsen migor berhenti produksi akibat tak mendapat pasokan CPO.
“Karena kebijakan DMO hanya bisa dilaksanakan perusahaan yang terintegrasi,” ungkap Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga. Misalnya, produsen eksporter yang sekaligus memasok pasar dalam negeri.
Ia menyebut, dari 34 perusahaan yang tergabung GIMNI tercatat hanya 16 yang terintegrasi. Sisanya, 18 perusahaan pasarnya hanya sebatas domestik. Lainnya, yang di luar GIMNI, hanya produsen ekspor saja.
Persoalan lain juga muncul pasca diterbitkan kebijakan DMO dan DPO. Distribusi dan penentuan HET membutuhkan waktu untuk penyesuaian. Terutama secara geografis karena wilayah Indonesia memiliki tantangan tersendiri. “Indonesia itu negara besar dan kepulauan. Hambatan ini tidak terlihat dari kacamata regulator dari aspek logistik dan geografis,” jelas Sahat. (Mohamad Nur Khotib)