PERSOALAN tentang minyak goreng (migor) seperti tak ada habis-habisnya. Masyarakat di berbagai daerah kesulitan mencari di pasar maupun minimarket. Begitu tersedia, harganya justru naik.
Pemerintah pun turun tangan. Yakni dengan mengeluarkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) pada bulan lalu. Migor curah dipatok harga Rp 11.500 per liter dan migor kemasan Rp 14.000 per liter.
Kini, kebijakan itu pun dicabut per kemarin (16/3). Presiden Joko Widodo memutuskan harga migor akan disesuaikan dengan nilai keekonomian. Alias diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Harapannya agar migor akan tersedia kembali di pasar tradisional maupun modern.
“Kebijakan diambil dari hasil rapat terbatas dengan melihat perkembangan ketidakpastian global,” kata Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto seusai rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kenegaraan. Sehingga berakibat pada harga pasokan energi. Juga sektor pangan yang naik dan langka, termasuk crude palm oil (CPO) atau migor mentah.
Selain itu, pemerintah juga bertemu dengan para produsen migor. Pemerintah menyediakan migor bersubsidi. Namun, harganya lebih tinggi dari HET yang ditentukan sebelumnya. Yakni migor curah dipatok menjadi Rp 14.000 per liter. “Untuk minyak goreng kemasan akan menyesuaikan,” imbuh Airlangga.
Pada rapat terbatas itu menghasilkan poin. Pertama, para produsen migor diminta untuk segera mendistribusikan migor ke pasar. Kedua, diterbitkan peraturan Menteri Perdagangan mengenai Harga Eceran Tertinggi (HET) terbaru berlaku sejak kemarin. Ketiga, distribusi migor curah ke pasar akan dikawal langsung oleh Kapolri.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga turut berpendapat. Menurutnya, penghapusan HET itu justru bakal menaikkan harga di pasar. Bahkan nyaris dua kali lipat.
Prediksinya, harga migor kemasan premium bisa mencapai Rp 25.000 per liter. Sedangkan untuk kemasan sederhana mencapai Rp 23.000 per liter. Itu berdasar harga CPO hasil tender dari Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). Nilainya mencapai Rp 15.864 per kilogram.
“Jadi kebijakan tersebut bisa menghapus selisih harga di pasar,” terangnya. Sisi lainnya, stok di pasar tidak bakal langka lagi dalam waktu dekat. Sehingga masyarakat tidak perlu untuk memborong.
Oleh karena itu, Sahat juga meminta agar aturan domestic market obligation (DMO) 30 persen untuk dibatalkan. Itu usul dari para pelaku industri sawit di sektor hilir. Sebab, ia menilai kebijakan DMO 20 persen sudah bisa memenuhi kebutuhan di pasar dalam negeri.
Apabila dinaikkan 10 persen justru berpotensi menimbulkan masalah. Pertama, berakibat pada para eksportir sawit di pasar global. Sebab, pasokan mereka untuk pasar global terpaksa berkurang 10 persen. “Ini memojokkan industri sawit. Bahkan berpotensi mengakibatkan ekspor macet,” ujarnya.
Penjualan minyak curah yang sangat diminati pedagang Pasar Pucang kemarin.(Foto: Julian Romadhon-Harian Disway)
Ia sudah berhitung. Bahwa DMO 20 persen mampu memenuhi kebutuhan migor di pasar setiap bulannya. Misalnya, jumlah pasokan migor sejak 14 Februari hingga 8 Maret mencapai 415 juta liter. Sementara kebutuhan migor masyarakat di luar industri mencapai 330,31 juta liter setiap bulan.
Lebih baik, kata Sahat, pemerintah fokus pada evaluasi pengawasan di jalur distribusi. Agar suplai bisa dipastikan sampai ke masyarakat dan usaha kecil. Ia curiga ada oknum yang menahan proses distribusi tersebut.
“Sanksi yang diberikan harus tegas kepada pelaku tindak kebocoran ini,” ungkapnya. Selain itu, pemerintah harus mengerti bahwa dari total 115 perusahaan sawit ekspor tidak semua berpengalaman. Tidak semua perusahaan hilir sawit terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Sementara itu, polemik migor juga masih terjadi di Jawa Timur. Ketersediaan terbatas di retail-retail. Jika pun tersedia, harganya tidak sesuai HET. Pemprov Jatim terus memasok migor dengan jumlah besar-besaran.