YANG paling dirindukan dalam ajang kejuaraan wushu bukan hanya tentang pertandingan. Tetapi juga perjumpaan antar atlet maupun pelatih dari setiap sasana. Pandemi Covid-19 terpaksa membuat kejuaraan wushu digelar secara virtual dalam dua tahun belakangan. Menyebabkan hal yang semula mudah didapat itu menjadi sesuatu yang justru dirindukan.
“Kita semua datang dengan kerinduan yang besar ke sini,” kata ketua panitia Doan Widhiandono saat membuka Disway Open Wushu Championship 2022. Ia pun berterima kasih pada seluruh pihak. Bahwa kejuaraan wushu kali ini tidak bisa terselenggara tanpa dukungan sponsor dan atlet yang mau bertanding.
Bagi Doan, motivasi kuat penyelenggaraan bukan untuk kompetisi. Tetapi yang utama untuk ajang temu-kangen. Yakni bagi seluruh pencinta wushu. “Kita semua kangen berteriak jiayou bareng-bareng di lapangan langsung. Kita kangen njajan sosis di luar lapangan,” katanya.
Akhirnya, semua yang dirindukan itu terbayar kemarin. Atmosfer kejuaraan sangat terasa di hari pertama. Para penonton memenuhi tribun di setiap sisi lapangan. Mereka menikmati sekaligus menyemangati setiap atlet yang sedang tampil di lapangan.
Itu juga dirasakan oleh Makhrus Wafin dari sasana Lima Benua Malang. Ia bersama sang istri menonton di tribun sisi kanan panggung. Menunggu penampilan perdana secara tatap muka puteranya, Haakan Mauza.
“Dua tahun ikutnya cuma online . Jadi ini kejuaraan pertama Haakan di lapangan,” ujar pria yang tinggal di Sengkaling, Malang itu. Kali terakhir, putranya yang berusia 8 tahun itu meraih medali sebagai atlet termuda. Yakni di kejuaraan Kapolda Jateng tahun lalu.
Makhrus cukup puas dengan perhelatan kali ini. Terutama karena venue kejuaraan yang megah. Ia pun senang bisa merasakan euforia para penonton. Ketegangan saat menonton bisa dirasakan kembali.
Kemarin, putranya itu mengikuti nomor kejuaraan Chang Quan. Berlanjut pada hari ini dan esok memakai Toya. Tentu ia berharap putranya bisa membawa pulang medali pada kejuaraan kali ini.
Kepuasan juga dirasakan oleh Wulandari. Dia datang untuk mengantarkan anaknyi bertanding. Yakni bersama 16 atlet lain yang tergabung dalam rombongan sasana Tjoe Tik Kiong Tulungagung.
Dia menilai Graha Unesa sangat layak menjadi venue berskala nasional. Selain megah, tribun penonton pun nyaman. Sebab beralas karpet merah yang cukup tebal. Suhu ruangan pun cukup dingin. “Gak kerasa kalau sedang di Surabaya. Biasanya kan panas,” ujarnyi lantas tertawa.
Apalagi akses untuk mendapatkan konsumsi juga dekat. Tepat di luar venue tersedia beberapa booth makanan dan minuman. Wulandari bahkan menyarankan agar disediakan menu lontong balap. Sehingga para peserta yang dari luar Surabaya bisa sambil mencicipi kuliner khas Surabaya.
“Semoga Harian Disway bisa menggelar lagi tahun depan. Kalau bisa kejurprov (kejuaraan provinsi) digelar di sini saja,” ungkapnyi. Atau, imbuh Wulandari, tahun depan bisa digelar dengan peserta skala nasional.
Selain itu, saran dan kritik juga disampaikan oleh para penonton. Salah satunya, Fitriasari, ibu dari salah seorang atlet Guang Wushu Kediri. “Kalau bisa ada streaming YouTube . Biar orang tua bisa menyimpan momen anak-anaknya,” jelasnyi. (Mohamad Nur Khotib)