H-1 Autopsi Yosua, Proses Jasad Terurai

Selasa 26-07-2022,07:43 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Seperti kecelakaan jalan raya, bongkar makam Yosua besok bakal ramai penonton. Kapolda Jambi Irjen Rachmad Wibowo pun mengingatkan. ”Mohon, warga jangan datangi makam. Cukup baca di media,” katanya.

KAPOLDA Jambi mengatakan itu kepada pers Minggu (24/7). Karena kebiasaan masyarakat kita memang begitu. Suka nonton hal-hal beginian. Bukan apa-apa. Sekadar selfie-selfie.

Sedangkan, banyaknya penonton pasti mengganggu proses autopsi. Repotnya, makin dilarang, warga makin kepo. Kalau tidak dilarang, tambah bebas berduyun-duyun.

Maka, Kapolda sudah menugasi Kepala Biro Operasi (Karo Ops) Polda Jambi Kombes Feri Handoko Soenarso untuk mengamankan proses autopsi. Terutama membatasi warga penonton.

Rachmad: ”Saya koordinasi dengan Pak Karo Ops. Pak Karo Ops mengatur rute yang akan dilewati. Juga, tempat untuk media sudah kita siapkan sehingga nanti media juga tidak saling menghalangi di antara mereka.”

Prosesnya begini. Pagi, kuburan Nopriansah Yosua Hutabarat di Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi, digali. Jenazah diangkat. Dimasukkan ambulans. Diangkut menuju RSUD Sungai Bahar, Jambi.

Di sanalah jenazah akan diautopsi tim ahli gabungan. Dari berbagai unsur, termasuk dari tim TNI, Polri, dan RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Sementara itu, kabar dari kuasa hukum keluarga Yosua, selalu ada yang baru. Update terus. Terbaru, soal autopsi pertama jenazah Yosua oleh Polri. Diungkap Martin Lukas, kuasa hukum keluarga. Begini:

Ada tiga lembar surat. 1) Hasil tes antigen. 2) Pengawetan jenazah. 3) Permintaan visum et repertum. Satu surat berkop Polres Jakarta Selatan. Dua lainnya berkop Rumah Sakit Bhayangkara, Polri.

Pihak keluarga Yosua menemukan kejanggalan di bagian data surat permintaan visum et repertum. Di surat yang ditandatangani perwakilan Kapolres Jakarta Selatan itu, pekerjaan Yosua disebut sebagai ”pelajar/mahasiswa”, bukan polisi. Usia Yosua ditulis: 21. Seharusnya: 28. Penyebab kematian, kosong.

Martin Lukas: ”Kejanggalan-kejanggalan itu. Juga, jenazah sudah divisum dulu, barulah kemudian memberi tahu keluarga. Di mana-mana, visum itu, kan, dilakukan berdasarkan persetujuan keluarga. Bukan dilakukan dulu, baru kemudian izin.”

Soal kejanggalan sudah dikatakan Menko Polhukam Mahfud MD sejak awal. Tak kurang, Presiden Jokowi juga minta kasus itu diusut transparan. Dikatakan Jokowi sampai tiga kali ke publik.

Sebab itu, jenazah Yosua diautopsi ulang. Tapi, bagaimana kira-kira kondisi jenazah? Yang saat diautopsi, Rabu besok, sudah 19 hari dari saat kematian.

Dikutip dari The Guardian, 5 Mei 2015, bertajuk: Life after death: the science of human decomposition, disebutkan: jenazah bisa diautopsi kapan pun. Asal, pelaksana autopsi benar-benar ahli.

Bicara autopsi, umumnya kurang disukai orang. Jijik. Mengerikan. Tabu. Baik orang di negara-negara Barat. Apalagi, di Indonesia. Tapi, inilah terpaksa.

Artikel The Guardian memaparkan ”dekomposisi”. Atau penguraian. Atau proses perubahan energi dari suatu bentuk ke bentuk lain yang lebih sederhana. Intinya, proses perubahan jasad manusia menjadi tanah. Tujuan akhir kita semua.

Disebutkan, Agustus 2014, pakar forensik Prof Gulnaz Javan dari Alabama State University, Montgomery, Amerika Serikat, menerbitkan studi pertama tentang apa yang mereka sebut thanatomicrobiome. Kata ”thanatos” dari bahasa Yunani yang berarti kematian. Javan memimpin tim riset.

Javan: ”Semua sampel kami berasal dari kasus kriminal, atau yang diusut polisi. Ada bunuh diri, pembunuhan, overdosis obat, kecelakaan lalu lintas.”

”Ini sulit. Sebab, harus seizin keluarga jenazah,” ujarnya. Karena itu, cuma dapat sebelas mayat.

Diuji, di tempat terbuka dan dikubur. Pasti, di kedua tempat itu mayat sama-sama terurai.

Di tempat terbuka, mayat lebih cepat terurai. Karena faktor lalat. Bertelur. Telurnya jadi belatung. Dalam jumlah sangat banyak. Yang sangat rakus makan daging busuk.

Di dalam kubur, bakteri (mikroba) bersumber dari usus. Bakteri ini sudah ada (hidup) sejak manusia masih hidup. Aneka jenis bakteri. Belum pernah diteliti, berapa jenis bakteri di situ.

Diperkirakan ada puluhan jenis bakteri. Setiap jenis berjumlah miliaran. Total 10 triliun mikroba. Yang ketika manusia masih hidup, bakteri itu tidak menggangu kesehatan. Sama-sama hidup dengan manusianya. Makan dari makanan yang sama dengan manusianya.

Tapi, sejak empat menit dari saat manusia dinyatakan mati, bakteri mulai memakan jasad manusianya. Tentu, berawal memakan usus.

Tim peneliti menggambarkan, jutaan mikroba itu bekerja secara konsisten dan terukur. Memakan jasad. Mikroba bergerak serempak, harmonis, dan ritmik. Tim peneliti menyebutnya: ”Jam mikroba”.

Dari situlah (juga) pakar forensik bisa memperkirakan waktu kematian jasad tersebut.

Tim peneliti menganalisis sampel organ dalam mayat, pada rentang waktu antara 20 sampai 240 jam (10 hari) dari saat kematian. Bandingkan dengan kondisi jenazah Yosua, sekitar 456 jam pasca kematian.

Ternyata, gerakan mikroba sudah keluar dari usus, kemudian memakan lever pada 20 jam pasca kematian manusianya. Itulah organ pertama di luar usus yang disasar mikroba.

Javan: ”Tingkat penguraian (disebut juga pembusukan, Red) tidak hanya bervariasi dari individu ke individu, tetapi juga berbeda pada organ tubuh yang satu dengan lainnya.”

Dilanjut: ”Usus, lever, limpa, dan rahim lebih awal membusuk. Sedangkan ginjal, jantung, dan tulang lebih lambat membusuk.”

Proses mikroba memakan jasad sekaligus otomatis memfermentasi glukosa (semula ada di dalam darah). Proses fermentasi menghasilkan aneka gas: metana, hidrogen, sulfida, amonia, semuanya menimbulkan tekanan otomatis.

Itu menyebabkan beberapa bagian tubuh melembung. Perut dan seluruh kulit. Gas mencari jalan keluar, dan yang terdekat adalah anus. Keluar dari situ.

Namun, volume gas masih banyak. Tidak bisa keluar semua lewat anus. Pada kurun waktu sekitar 1.440 jam atau sekitar dua bulan dari saat kematian, perut meletus.

Setelah perut meletus, proses penguraian jadi lebih cepat. Sebab, 10 triliun mikroba itu dibantu bakteri yang sudah ada di tanah. Jumlahnya tak terbatas. Persisnya, tak bisa dihitung manusia.

Meski disebut proses urai lebih cepat, tapi tidak setahun-dua tahun. Dijelaskan, tubuh manusia punya 200 tulang dan 37 triliun sel. Proses dekomposisi masih harus menempuh jalan panjang.

Tim pimpinan Javan tidak meriset sampai jasad berubah jadi tanah. Tidak. Cuma sampai setahun dari saat kematian manusianya. Uraiannya begini. Berbentuk prediksi:

Satu tahun. Sejak saat kematian sampai setahun kemudian, segala sesuatu yang ”menyelimuti” mayat di dalam kubur – seperti pakaian atau kain kafan – akan hancur dan hilang. Dimakan mikroba dan bakteri tanah.

Sepuluh tahun. Dengan kelembapan di lingkungan yang basah (karena tanah menyerap air hujan) serta rendahnya oksigen, akan muncul reaksi kimia yang mengubah lemak di paha dan bokong mayat menjadi zat seperti sabun. Warna kuning. Disebut ”grave wax”.

Lima puluh tahun. Jaringan tubuh mencair dan menghilang. Meninggalkan kulit serta tendon, yang seiring berjalannya waktu, juga akan musnah.

Delapan puluh tahun. Tulang pecah karena kolagen mengalami korosi. Tersisa kerangka rapuh, mudah patah.

Seabad. Tulang-tulang rapuh yang tersisa lebur jadi tanah. Tinggallah gigi dan sisa grave wax yang sudah kering.

Seratus sepuluh tahun. Musnah semuanya. Menjadi tanah.

Javan menutup dengan kalimat begini: ”Tubuh manusia, bagaimanapun hanyalah sebentuk energi. Terperangkap dalam gumpalan materi. Yang menunggu untuk dilepaskan ke alam semesta, yang lebih luas.”

Jenazah Yosua pasti masih utuh. Cuma, bagaimana tim forensik meneliti, kemudian menyimpulkan, kemudian mengumumkan hasilnya. Bagaimana tim menjaga objektivitas penelitian.

Terpenting, bagaimana hasil penelitian tim forensik itu dikaitkan dengan bukti-bukti hukum lainnya, selain autopsi. Yang harus menghasilkan hubungan kausalitas objektif. (*)

Kategori :