Misgeiyanto dengan satu lukisannya bergaya kubisme. Menurutnya yang sulit adalah soal komposisi. Tapi dia sedang mempertahankan gaya itu sebelum mungkin berubah dalam gaya yang lain.
Mengusung figur dan aktivitas dalam genre kubisme, gaya seni rupa Misgeiyanto telah berubah sejak 2008. Ciri khas itu didapatnya setelah melalui perjalanan panjang pencarian estetika. Dari realis-naturalis ke kubisme.
Kegemaran melukis dalam diri Misgeiyanto telah digelutinya sejak kecil. Ia suka menggambar dan corat-coret. ”Guru pertama saya dalam melukis adalah bapak saya sendiri. Beliau seorang guru teknik. Tapi suka menggambar dan bermain wayang orang,” ungkapnya.
Sebagian besar gambar bapaknya adalah karakter wayang orang serta lukisan Bung Karno. Ia juga belajar realisme dari bapaknya. Ketika lepas SMP, Misgeiyanto hendak meneruskan studi ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Surabaya.
Namun justru orang tuanya tak setuju. ”Katanya sekolah seni tidak menunjang masa depan. Lalu saya disekolahkan di STM jurusan mesin,” kenangnya, lalu tertawa.
Ia pun bersekolah di Sekolah Teknik Menengah (STM) 17, Lumajang. Pascalulus, Misgeiyanto merantau ke Surabaya dan bekerja di bagian produksi, perusahaan industri pembuat meja biliar.
Ia kerap ditugaskan ke berbagai daerah, bahkan di luar pulau, untuk melakukan pengiriman atau pembelian bahan-bahan. Meski begitu, Misgeiyanto terus mengasah kemampuan melukisnya. Ia selalu membawa kertas linen putih dan cat air.
Selepas kerja, misalnya, ia selalu menyempatkan diri untuk mensketsa atau membuat lukisan cat air. Seperti saat berada di Sampit, Kalimantan, di daerah hutan. ”Camp saya waktu itu di hutan. Jadi lukisan-lukisan awal saya bertema naturalisme. Sebagian besar objek hutan dan sungai,” terang pria 50 tahun itu.
Beberapa kali ia berpameran dengan berbagai komunitas seni rupa di Surabaya. Hingga pada satu titik, Misgeiyanto menemukan kejenuhan ketika bergelut dengan naturalisme.
Ia ingin mengubah karakter karyanya. Demi tujuan itu, ia bergabung dengan Sanggar Tanah Jowo, yang diprakarsai oleh pelukis Setyoko. Saat itu berlokasi di Perumahan Makarya Binangun, Sidoarjo.
Dalam sanggar yang juga padepokan seni tersebut, terdapat beberapa pelukis senior yang bergabung. Seperti Joko Lelono, Nunung Bachtiar, sketser Hardono dan sebagainya.
Bergaul dengan para senior membuat kemampuan melukis Misgeiyanto semakin matang. "Sampai suatu ketika saya utarakan keinginan saya untuk mengubah gaya melukis pada Pak Setyoko. Beliau memberi saya kanvas ukuran 1mx20cm,” ungkapnya.
Lewat kanvas tersebut, Setyoko hanya menyuruh Misgeiyanto untuk menggambar. ”Maknanya, jika berniat untuk mengubah gaya melukis, maka melukislah saja. Lakukan. Jangan sekadar berangan-angan," ujarnya.
Namun selama berjam-jam, kanvas itu dilihatnya saja. Misgeiyanto bingung tentang apa yang harus dilakukan. Esoknya, Misgeiyanto baru mendapat ide. Ia ingin melukis perempuan sedang berbaring dan menghadap ke belakang.
Ia melukis model itu dengan gaya realisme. Namun bila tampilan lukisannya hanya bergenre realisme, Misgeiyanto belum menemukan karakter. ”Figur perempuannya tanpa pakaian. Pak Setyoko menyuruh saya mengolah figur agar tak vulgar. Maka saya cari cara. Kemudian visual figur itu saya pecah-pecah dalam garis,” terangnya.