JAKARTA, INDONESIA - Kuota Pertalite hingga akhir tahun 2022 mencapai 23 juta kilo liter (KL). Sampai akhir Juli lalu, ternyata sudah terpakai 16,8 juta KL. Sudah terpakai 73 persen.
Hingga Desember nanti, jumlah Pertalite yang disediakan cuma 6,2 juta KL. Atau setara dengan 27 persen saja. Pemerintah harus mengirit BBM bersubsidi itu dalam 5 bulan ke depan.
Kondisi itu tentu mengkhawatirkan. Apalagi jumlah migrasi pengguna Pertamax ke Pertalite terus bertambah. Perpindahan perilaku pelanggan itu terjadi sejak kenaikan harga Pertamax yang semula Rp 9.000 menjadi Rp 12.500.
Jika tidak ada pembatasan, Pertamina bakal kesulitan menyediakan BBM Ron 90 itu. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengusulkan agar aturan pembelian BBM dapat segera dijalankan. "Pengaturan BBM harus segera dilakukan," katanya, seperti dikutip dari CNBC.
Kondisi solar tak kalah mengkhawatirkan. Sampai Juli sudah terpakai 9,9 juta KL dari kuota tahun ini sebesar 14,91 juta KL. Dengan begitu, maka sisa kuota Solar subsidi hingga Juni tinggal 5,01 juta KL. Sisa 33 persen.
Pemerintah sudah meluncurkan MyPertamina untuk untuk mengantisipasi jebolnya kuota Pertalite. Konsumen SPBU harus menggunakan aplikasi saat bertransaksi. Hingga sekarang, ketentuan itu baru berlaku untuk 50 kabupaten/kota.
Pembatasan pembelian Pertalite juga bakal berlaku. Kendaraan mewah harus pakai Pertamax atau BBM dengan RON lebih tinggi. Namun, penerapannya masih menunggu revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan revisi perpres 191 hingga kini masih berproses. "Insya Allah (pekan ini,Red). Nanti tanya sendiri," ujar Menteri saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Selasa, 9 Agustus 2022.
Setelah revisi tuntas, pemerintah tidak langsung memberlakukan pembatasan. Akan ada proses sosialisasi yang harus ditempuh. (*)