LANGKAH Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor memperlebar jalan Bundaran Aloha pasti menyenangkan banyak orang. Apalagi, diikuti dengan rencana membuat proyek flyover untuk mengatasi kemacetan di kawasan tersebut.
Dengan pelebaran jalan saja, sudah akan mengurangi keruwetan lalu lintas di kawasan itu. Apalagi, kalau kelak dibangun flyover yang menghubungkan jalan utama Surabaya–Sidoarjo itu dengan Bandara Juanda.
Saya tidak tahu, apakah proyek flyover Aloha itu sudah diajukan ke pemerintah pusat atau belum. Penelusuran melalui jejak digital, rencana proyek tersebut sudah muncul beberapa tahun lalu. Namun, karena itu jalan nasional, akan menjadi proyek nasional pula.
Yang pasti, bupati muda ini sudah menunjukkan langkah konkret. Puluhan bangunan sudah dibongkar. Penghuninya sudah diberi uang kerahiman –istilah lain dari uang ganti rugi. Proyek pelebaran jalannya sekarang sedang berjalan.
Ia juga sudah memulai pembangunan frontage road untuk selatan Aloha. Program Pemkab Sidoarjo yang puluhan tahun tak tersentuh. Jika proyek frontage road itu segera berlanjut di sisi utara Aloha, jalan utama tersebut akan makin cantik. Apalagi kalau sudah nyambung dengan frontage road di Surabaya yang tuntas sejak beberapa tahun lalu.
Pembenahan jalan utama yang menghubungan Surabaya–Sidoarjo itu menjadi sangat penting dari tahun ke tahun. Volume kendaraan terus bertambah. Penduduk komuter dari Sidoarjo juga tumbuh pesat. Sidoarjo menjadi pilihan rumah tinggal ketika harga tanah dan rumah di ibu kota Jawa Timur tersebut terus meningkat pesat.
Keluarga baru pasti banyak yang tidak mampu beli rumah di Surabaya. Maka, pilihan masuk akal adalah tinggal di kota di sekitarnya. Di wilayah suburban. Itu hukum alam di seluruh dunia. Ketika transportasi publik belum tergarap dengan baik, pelebaran jalan menjadi tak terelakkan. Agar kemacetan tidak makin meresahkan.
Tapi, apakah cukup hanya menyambungkan frontage road Ahmad Yani dan flyover Aloha? Rasanya belum. Bundaran Waru dan Bundaran Dolog juga perlu pemikiran lebih lanjut. Sebab, dua titik simpang tiga di jalan nasional itu selalu menjadi sumber kemacetan di jam-jam tertentu. Ketika jam berangkat maupun pulang kerja.
Maka, mempersiapkan proyek flyover atau underpass di dua titik tersebut menjadi agenda yang sangat penting sekarang dan masa depan. Tentu, karena Bundaran Waru berada di dua wilayah administrasi, Surabaya dan Sidoarjo, itu harus menjadi agenda bersama antara kedua pemerintahan tersebut dengan pemerintah provinsi.
Saya menjadi teringat mimpi Gubernur Imam Utomo puluhan tahun lalu. Waktu menjabat, ia sudah menggagas flyover tiga tingkat di bundaran Waru. Lajur konvensional sekarang, tol Juanda, dan satu tingkat lagi yang menghubungkan antarjalur. Kurang lebih seperti jembatan bertingkat di Bundaran Semanggi, Jakarta.
Selain itu, Pak Imam Utomo yang juga getol menyelesaikan Jembatan Suramadu tersebut menggagas rel kereta elevated yang melintas di sepanjang Jalan Ahmad Yani Sidoarjo–Surabaya. Bahkan, gagasan tersebut sempat menjadi pembicaraan serius dengan pemerintah pusat di saat itu. Imam Utomo adalah gubernur dua periode, 1998–2008.
Yang belum pernah saya dengar adalah gagasan untuk mengatasi kemacetan di Bundaran Dolog, Surabaya. Hanya pernah menjadi wacana Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Terutama wacana pembebasan rumah yang ada di kampung yang menjadi pulau di pertigaan jalan menuju kawasan industri Rungkut itu.
Sayang sekali, gagasan hebat mantan Pangdam V/Brawijaya di atas tidak berlanjut. Bahkan, wacana untuk pembangunan jembatan bertingkat Bundaran Waru dan rel kereta elevated di sepanjang jalan nasional itu tidak pernah muncul kembali. Akankah dengan ”pancingan” Bupati Muhdlor lewat pelebaran jalan Aloha ini bisa memunculkan gagasan Pak Imam tersebut?
Saya tentu tidak bisa menjawab hal itu. Tampaknya, diperlukan ”koalisi” yang lebih kuat antara Pemkot Surabaya dan Pemkab Sidoarjo untuk bersama-sama memecahkan keruwetan jalan utama kedua daerah tersebut. Apalagi kalau program itu juga menjadi prioritas pemerintah provinsi.
Tentu bukan untuk program jangka pendek. Namun, ini harus menjadi prioritas sebelum gagasan membangun transportasi publik yang terjangkau dan mudah bisa diwujudkan di Surabaya Raya.