Berenam, lelah dan bersandar. Salah satu dari kami mendongak. Kedua tangan menengadah. Kami kira kesurupan. Rupanya ia cuma ingin menirukan video iklan di televise dengan berteriak; ”Minta Krisdayanti dong!”
Meski iseng, kami merasa kondisi sudah tak kondusif. Jika terlalu banyak diam dan berkhayal, lama-lama bisa tak sadarkan diri. Kami meneruskan perjalanan menuju pos empat. Sejak pos dua sampai empat, rute terus menanjak dan sangat melelahkan. Rute antar pos terjauh. Lama perjalanan dari pos 3 ke pos 4 adalah 40 menit.
Di tengah perjalanan kami menemukan semacam tugu patokan. Rupanya monumen yang dibangun untuk mengenang mahasiswa Ubaya yang meninggal dunia saat melakukan pendakian di Penanggungan. Di badan monumen itu tertulis nama: Erfando Ilham Nainggolan. Ia meninggal dunia pada Januari 2022 silam.
Kami menyempatkan untuk duduk sejenak. Melingkar di monumen tersebut untuk mendoakan ketenangan almarhum. Kemudian melanjutkan perjalanan. Kabut tipis turun. Rute menanjak tapi mengasyikkan. Sebab, di kanan-kiri pepohonan yang kami lalui memiliki batang yang merunduk satu sama lain. Sehingga membentuk semacam terowongan.
Sebelum sampai ke puncak, terdapat kawasan savana yang cukup luas. Kami melewati setapak kecil di savana tersebut. Terus berjalan hingga menemukan Puncak Bayangan. Yakni sebuah bukit yang menyerupai puncak Penanggungan. Kami mendirikan tenda di situ. Sudah jam 3 pagi. Rasanya berburu sunset di puncak sudah terlambat.
Kami menikmati suasana dengan beraksi berjalan di areal savana yang berada sebelum Puncak Bayangan.
Setelah mendirikan tenda dan beristirahat, kami meneruskan perjalanan. Menjelang puncak, suasana semakin dingin dan kabut semakin menebal. Suara serangga hutan dan gesekan daun-daun pohon mewarnai suasana dini hari jelang puncak Penanggungan.
Kami sampai di lokasi pukul 5.30. Dari arah selatan puncak Penanggungan, terlihat pemandangan Gunung Welirang. Lerengnya dipenuhi berbagai rumah penduduk yang dari ketinggian tampak kecil. Seperti aksentuasi dalam sebuah karya lukisan. Aksentuasi yang tampaknya tak lebih besar dari ukuran ibu jari.
Kabut semakin menebal. Sekitar pukul delapan pagi, kami kembali ke tenda. Beristirahat hingga sore hari. Pada pukul tiga sore, kami memutuskan pulang. Kembali melewati rute yang kami lalui.
Bergerak turun setelah asyik menikmati puncak Gunung Penanggungan yang membuat ingin kembali suatu saat.
Rupanya savana yang membentang menampakkan keelokannya. Hijau, kuning berseri. Dibias cahaya matahari yang terus beranjak ke barat. Redup dan jingga. Menggapai selimut cakrawala. (Oleh: Miftakhul Rozaq, Mahasiswa Untag Surabaya)