Salah satu kedai yang mengusung konsep tradisional Jawa itu adalah Wedangan Joglo Sumput. Bagi yang mencari jajanan pasar dan minuman tradisional, bisa ke sini.
Perempuan berpakaian batik tampak tersenyum. Ia menuangkan kuah dawet dalam wadah tempurung kelapa. Orang Jawa menyebutnya gelas bathok yang berwarna cokelat gelap.
Gelas jadul yang kerap digunakan masyarakat Jawa masa lalu untuk minum itu membuat minuman tradisional itu makin enak dinikmati. ”Percaya atau tidak, rasa dan kesegaran yang dihasilkan dari gelas bathok, berbeda dari gelas biasa. Lebih maknyus,” kata Julian Romadhon, pengunjung.
Minuman dawet yang diladeni oleh penjual langsung dari pikulan kayu bergelas bathok. Asyik lho. -JULIAN ROMADHON/Harian Disway-
Di hadapan penjual adal pikulan kayu dengan dua buah wadah besar yang dilapisi anyaman bambu. Benar-benar seperti penjual dawet masa lalu. Saat dibawa berjalan keliling kampung dengan pikulan. Kadang-kadang tanpa alas kaki.
Julian masih ingat dengan para pedagang dawet tanpa alas kaki ketika ia masih kecil. ”Biasanya begitu itu penjualnya, sembari berdagang juga melakukan laku. Konon jika tanpa alas kaki terus-terusan, ketika mencapai titik spiritual tertentu, ia jadi kebal bacok dan kebal peluru,” ujarnya.
Itulah salah satu keunikan Wedangan Joglo Sumput, di Jalan Balai, RW 03, Sumput, Sidoarjo. Kedai yang berada dalam area Perumahan Kahuripan Nirwana Sidoarjo itu menawarkan suasana perdesaan. Khas perkampungan Jawa masa lalu.
Mau duduk kongko yang jenak banyak pilihan. Bisa di rumah simbah, joglo, limasan, atau pelataran.
Itu karena sebagian besar bangunannya dibuat dari papan dan kayu. Artistik sehingga sangat Instagrammable. Banyak vlogger atau penggemar fotografi yang memanfaatkan tempat untuk membuat foto yang diunggah ke media sosial mereka.
Mau makan menu Jawa? Ada gudeg, ayam bakar, bakmi godog, garang asem, tahu bacem, ketela goring, serta aneka sate. Minumannya bisa dingin atau hangat. Seperti kopi tubruk, teh blirik, wedang uwuh, beras kencur, dan es kunir asam. Semuanya wedang tradisional. Harganya mulai dari Rp6 ribu hingga Rp20 ribu.
Di dalam Wedangan Joglo terdapat beberapa tempat kongko. Bisa memilih di rumah simbah, joglo, limasan, dan pelataran. Beberapa orang sering memanfaatkan tempat-tempat tersebut sebagai ruang pertemuan. Kapasitasnya mampu menampung sekitar 80 orang. Pengunjung juga dimanjakan dengan live music.
Di sini makin ayem karena musik yang disuguhkan kebanyakan ya lagu-lagu Jawa. Bisa campursari atau keroncong.
Dengan suasana Jawa masa lalu, lagu-lagu yang paling sering dibawakan ya lagu-lagu Jawa. Seperti campursari milik alm Didi Kempot. Sering pula dilantunkan lagu-lagu populer berirama keroncong.
Yang membuatnya lebih Njawani di sini adalah karea tiap pengunjung yang datang akan disambut dengan menggunakan bahasa Jawa. ”Sugeng rawuh (selamat datang, Red),” ujar para karyawan penyambut tamu. Jika pengunjung pulang, mereka kembali mengatupkan tangan dan berujar dalam bahasa Jawa pula. ”Sugeng tindak. Matur nuwun.” Selamat jalan. Terima kasih.
Begitu pun ketika karyawan menyajikan makanan yang dipesan. Setelah meletakkannya di meja kayu, ia mengatupkan tangan dan berkata; ”sugeng dhahar” (selamat makan, Red). Jika menyajikan minuman, mereka berkata; ”monggo diunjuk” (silakan diminum, Red).
Setiap hari Sabtu dan Minggu, semua karyawan yang meladeni akan tampil mengenakan pakaian surjan. Dengan penyajian itu, selain merasakan suasana Jawa tempo dulu, pengunjung merasakan suasana kampong ndeso. Tak sedikit yang melakukan sesi foto pre-wedding berkonsep Jawa di sini.
Dengan cara itu, Wedangan Joglo yang didirikan oleh pasangan suami istri Slamet Rahardian dan Happy Rosalina, membawa pengunjung kembali masa lalu. (*)